Khotbah Perjanjian Baru

Bertekun Dalam Masa Penantian

Bertekun Dalam Masa Penantian

Roma 8:18-30

Oleh Renold Afrianto Oloan

Saudara-saudara, pada zaman bahela (dulu), ada seorang pemuda yang jatuh hati kepada seorang gadis ayu di desanya.  Pada satu kesempatan ia memberanikan diri mengungkapkan rasa itu kepada gadis pujaannya.  Sang pemuda berkata: “Ju (Juleha), aku mencintaimu.  Maukah engkau menjadi kekasihku?”  Gadis itu diam dan tersipu malu, namun dalam hatinya ia berkata “yes”, akhirnya ia mengungkapkannya juga.  Gayung pun bersambut dan mereka menjalani masa pacaran yang penuh dengan warna.  Namun suatu ketika tiba saatnya bagi sang pemuda untuk pergi ke kota mencari nafkah dan mempersiapkan masa depan bagi hidup mereka kelak kalau mereka sudah menikah.  Ia menjumpai kekasihnya dan berkata: “Sayang, aku harus pergi.  Tapi percayalah aku pasti kembali.  Nantikanlah aku di batas desa ini.”   Dengan disertai derai airmata sang kekasih, akhirnya sang pemuda pun pergi.

 

Hari-hari berlalu.  Juleha menghadapi masa-masa penantian dengan satu harapan bahwa sang kakanda akan segera pulang.  1 bulan, 2 bulan, 1 tahun, 2 tahun, sang kakanda tak kunjung tiba.  Namun Juleha tetap tekun dalam masa penantiannya.  Ada banyak orang yang mempengaruhinya untuk berhenti menanti.  “Sudahlah, mungkin saja ia telah ingkar janji.”  Begitu juga dengan pria-pria tampan datang silih berganti.  Ada perjaka, ada juga duda.  Namun tidak digubrisnya.  Ia tetap bertahan dan bertekun dalam penantiannya.  Namun apa daya, di tahun ketiga Juleha mulai ragu dan kecewa kepada kekasihnya.  Ia mulai bertanya dalam hatinya: “Apakah aku harus tetap bertahan?”  Pertahanan Juleha semakin lama semakin lemah.  Ketika seorang pemuda tampan dengan berbagai rayuan datang terus-menerus menggodanya, ia pun menyerah dan jatuh ke dalam pelukannya.

 

Tibalah waktu bagi sang kakanda untuk pulang ke desa.  Ia merasa sudah waktunya untuk menikahi sang dambaan hati dan membawanya ikut serta ke kota.  Tapi apa hendak di kata, ketika ia tiba, hanya “tenda biru” yang dapat dilihatnya.  Yang ada hanya kebisuan ditemani tetesan air-mata.  Ia setia kepada janjinya.  Seharusnya mereka bisa bersama, tetapi apa daya, sang kekasih tak bertekun dalam masa penantiannya.

 

Saudara, kisah ini bisa jadi cermin mengenai hubungan kita dengan Tuhan.  Apakah kita tetap berpegang pada janji Tuhan dalam masa penantian, atau seperti Juleha?  Kita menjadi ragu ketika cobaan dan penderitaan datang dan tergoda untuk jatuh ke dalam pelukan kenikmatan dan kenyamanan yang dunia tawarkan.

 

Penderitaan sering menjadi kabut tebal yang menghalangi mata iman untuk memandang kepada janji-janji Tuhan.  Membuat kita lemah, terkadang ragu, dan bahkan kecewa kepada Allah.  Saudara-saudara, tidak ada seorang pun yang menginginkan kehadiran penderitaan.  Namun bila penderitaan itu Tuhan izinkan hadir dalam masa penantian, apa yang seharusnya kita lakukan sebagai hamba-hambaNya?

 

Firman Tuhan hari ini memanggil kita untuk tetap bertekun dalam masa penantian, meski hidup sarat dengan penderitaan.

Mengapa Saudara?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *