Biji yang Jatuh ke Tanah dan Mati
Yohanes 12:20-36
Pdt. Suarbudaya Rahadian
Minggu-minggu Pra-Paskah dirayakan sebagai masa pengenangan Kristus, dengan fokus pada pertobatan.
Pertobatan menggunakan kata “metanoia” dalam bahasa Yunani Koine. Kata yang berarti berbalik arah sepenuhnya. Hidup dalam pertobatan berarti menggumulkan ulang sepenuhnya secara radikal tentang apa yang selama ini dianggap benar, apa yang selama ini kita anggap sebagai “tuhan” kita.
Apakah kita digerakkan oleh rasa takut? Keinginan dihormati? Gengsi dengan dunia sekitar? Rasa nyaman? Ataukah digerakkan oleh Kerajaan Allah, oleh kebenaran, keadilan, dan cinta kasih? Kebenaran, keadilan, dan cinta kasih yang menggerakkan Allah untuk tidak “menyayangkan” Anak-Nya Yang Tunggal demi turun menjadi manusia di antara kita.
Pembacaan perikop berjudul “Yesus memberitakan kematian-Nya” ini mengajar kita tentang kehidupan yang dirawat dengan sepatutnya, yang berbeda jauh dengan konsep “merawat hidup” yang dunia tawarkan dan ajarkan kepada kita.
Masa akhir kehidupan-Nya sebagai manusia dilalui dengan penuh sengsara, membuat orang sekitarnya kecewa karena Kristus terlihat begitu tidak Mahakuasa. Petrus pun kecewa karena Kristus terkesan enggan menunjukkan ke-Mahakuasa-annya dan menaklukkan dunia sesuai kemampuan-Nya.
Namun begitu, Yesus malah menentang Petrus karena memilih jalan yang aman dan menggampangkan. Bayangkan, Petrus sebagai orang yang loyal malah menerima seruan dari Tuhan, “Enyahlah kau Iblis!” Tentu perkataan demikian hanya akan keluar bila benar-benar ada sesuatu yang kebablasan bukan? Yesus menegur Petrus karena enggan merisikokan pelayanannya lewat hidup yang sepenuhnya berkorban.
Apakah Yesus mengglorifikasi penderitaan? Tidak! Yesus malah menunjukkan bagaimana merawat kehidupan yang indah dengan sepatutnya dalam Kerajaan Allah. Kehidupan yang diraih bukan dengan mengambil jalan mudah. Yesus secara terus terang mengatakan untuk menjadi biji yang jatuh ke tanah dan mati. Hidup yang berkelimpahan dan berjalan dalam kebenaran dan pertobatan adalah hidup yang dijalani dengan penuh risiko. Hidup yang diarahkan untuk menjadi biasa-biasa saja dengan upaya untuk minimalisasi tantangan adalah hidup yang hampa dan sejatinya bahkan adalah kematian. Sementara itu, kehidupan yang seperti biji yang jatuh ke tanah untuk kemudian bertunas adalah kehidupan yang penuh penyertaan dan pimpinan Tuhan, untuk nantinya dia berikan pertumbuhan dan buah yang lebat seturut kehendak-Nya.
Tentu dalam kehidupan kita ada orang-orang yang kita kagumi seperti itu. Orang-orang yang hidupnya telah menjadi kesaksian hidup yang berpihak pada kebenaran dan keadilan. Orang-orang yang melawan penguasa yang semena-mena. Orang-orang yang berani menantang ketidakadilan yang menghabisi orang-orang tersingkirkan. Hidup demikian adalah hidup yang waras, berpegangan pada akal sehat, namun penuh risiko. Hidup yang dijalani apa adanya dengan penuh rasa keadilan. Berani merisikokan diri terhadap apa yang diakui sebagai kebenaran. Orang-orang yang dapat menjadi teladan dalam perjalanan iman. Alkitabpun banyak berbicara tentang para martir yang tidak pernah kehilangan kerinduan untuk menjunjung tinggi rasa keadilan yang Tuhan karuniakan. Rasa keadilan dan cinta kasih yang memercikkan Kerajaan Allah di dunia ini.
Dari jalan sepi dan sunyi untuk melawan penguasa dunia yang jahat dalam kegelapan itulah lahir kehidupan. Dari “benih-benih yang mati” itulah akan lahir buah-buah kehidupan yang menginspirasi kita, lewat hidup kita yang diubahkan.
Mari kita belajar ikuti jejak Yesus Kristus yang demikian mencintai kehidupan, dan bahkan melihat kehidupan itu sebagai sesuatu yang begitu berharga. Untuk itu kita patut menggumulkan diri, belajar untuk bersedia bayar harga, berani menjalani kehidupan yang penuh risiko. Memberi diri di hadapan Tuhan untuk menjadi benih yang mati dan melahirkan pertumbuhan iman bagi siapapun yang melihat dan merasakan kehidupan kita sebagai saksi Kristus.