Jujurkah Kita?
Oleh Rini Anggraini
Pendahuluan
Saudara-Saudara, kejujuran tampaknya telah menjadi sesuatu yang langka dalam kehidupan kita dewasa ini. Mulai dari pengemis jalanan yang pura-pura sakit, pedagang yang mengurangi timbangan, pelaku bisnis yang main curang, produsen iklan yang menggunakan trik untuk menipu konsumen, hingga para koruptor dari kelas teri maupun kelas kakap, rasanya cukup dapat menjadi gambaran nyata bahwa nilai-nilai kejujuran itu memang sudah pudar. Karena itu, tepatlah apa yang dikatakan oleh seorang wartawan sebuah surat kabar, “Ketidakjujuran tampaknya sudah menjadi suatu kebiasaan yang sangat umum dalam masyarakat kita. Terkadang ketidakjujuran itu dilakukan karena dianggap sebagai alasan yang terbaik. Namun, ketidakjujuran juga tidak jarang dilakukan hanya demi keuntungan pribadi, secara khusus untuk memudahkan usaha-usaha yang berkaitan dengan hubungan-hubungan sosial maupun bisnis.”
Saudara, pada suatu siang ada seorang salesman obat mengetuk pintu sebuah rumah tua yang penghuninya miskin. Setelah wanita pemilik rumah ini mengintip siapa yang datang, ia segera berkata kepada anak laki-lakinya yang masih kecil, “Nak, ayo cepat bukakan pintu dan katakan pada salesman tersebut bahwa ibu sedang mandi.” Sang anak pun segera berlari ke depan dan setelah membukakan pintu ia berkata, “Pak, tadi ibu saya berpesan dari ruang tamu katanya ia sedang mandi.”
Saudara, kejadian sepele seperti di atas tentu bukanlah hal yang asing lagi di telinga kita, atau bahkan hal seperti itu telah menjadi bagian yang kita lakukan sehari-hari. Kita juga sering ikut tergelincir dalam praktik-praktik ketidakjujuran, baik dalam perkara-perkara yang besar maupun sekedar mengatakan dusta-dusta kecil, dusta-dusta untuk menjaga kesopanan, mengatakan kejujuran yang setengah benar saja, atau melakukan tindakan-tindakan lain yang serupa? Saudara, kejujuran memang barang langka yang sukar ditemui dalam masyarakat kini.