Karakteristik Kasih
Roma 12:9-21
Oleh: Anthony Chandra
Pendahuluan
Saudara-saudara, hari ini saya berkhotbah mengenai kasih. Kita sudah tahu bahwa hidup seorang Kristen harus mencerminkan kasih. Kasih itu tidak bisa hanya sekedar di mulut, tetapi kasih itu harus riil. Saya setidaknya menemukan beberapa persamaan antara karakteristik kasih orang Kristen dengan puisi yang sudah saya bacakan tadi.
Kasih orang percaya
Tidak malu untuk dikeluarkan, tetapi mengGALAUkan hati jika ditahan
Kasih orang percaya
Harusnya keluar dengan sendirinya dan tidak bisa disembunyikan
Kasih orang percaya
Bisa menyerang siapapun yang sudah percaya kepada Kristus
Kasih orang percaya
Hanya memberi, tak harap kembali
Kasih orang percaya
Janganlah malu mengakuinya
Kasih orang percaya
Wujudnya nyata dan jelas adanya
Kasih orang percaya
Dapat dilihat dan bisa dirasakan
Kasih orang percaya
Alamiah, dan keluar dengan sendirinya
Kasih orang percaya
Tidak mengenal umur untuk dinyatakan
Saudara, di dalam perikop yang sudah kita baca tadi, dengan jelas kita melihat bahwa Paulus berulang-ulang memberikan contoh mengenai karakteristik kasih. Hari ini kita akan belajar dua karakteristik kasih.
- Kasih itu tulus, tidak mengharapkan fulus (ay. 9-13)
Penjelasan
Saudara-saudara, Paulus membuka perikop 12:9-21 dengan mengatakan “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura.” Kasih itu harus tulus, dan tidak mengharapkan fulus. Kasih itu tidak munafik. Kasih yang tulus seperti Allah mengasihi manusia, dan tentunya sudah dirasakan oleh orang percaya. Kasih merupakan dasar dari keselamatan orang percaya. Kasih bukan sekedar perasaan mengasihi, namun kasih membawa orang percaya kepada tindakan nyata kepada sesamanya.
Saudara, ayat 9-13, Paulus menjelaskan hal-hal praktis mengenai kasih yang seharusnya dilakukan orang percaya kepada sesama orang percaya. Di dalam ayat 10 “τῇ φιλαδελφίᾳ εἰς ἀλλήλους φιλόστοργοι, τῇ τιμῇ ἀλλήλους προηγούμενοι (Rm. 12:10; BNT).” Paulus menggunakan “philadelphia” yang berarti ikatan kasih yang terjadi di dalam keluarga. Kasih yang ditunjukkan kepada sesama anggota keluarga. Paulus dengan tepat memberikan contoh-contoh kasih yang harus dilakukan orang percaya atas dasar philadelphia, kasih di dalam keluarga.
Saudara, kasih di dalam keluarga merupakan contoh kasih yang tulus, yaitu kasih orangtua kepada anak-anaknya. Kasih yang keluar dengan sendirinya, tanpa dipaksa, dan tanpa mengharapkan imbalan. Orangtua mengasihi anaknya, dan pastilah orangtua tahu bahwa anaknya tidak mampu untuk membayar pengorbanan yang sudah mereka berikan.
Saudara-saudara, di dalam keluarga, saya adalah anak kesayangan papi dan mami. Saya yakin adik-adik saya juga disayang sama mereka. Namun saya tidak pernah mendengar papi atau mami saya bilang kepada kami “Anthony! Bayar pelukan mami 50 ribu.” Kalau memang mami berkata seperti itu saya akan berkata “APA??? Mati aku, tau gitu ga usah dipeluk.”
Saudara-saudara, saya jadi ingat dengan lagu “Kasih Ibu” yang mengatakan tentang kasih yang tulus. Liriknya berkata seperti ini:
Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia
Saudara-saudara, Paulus menasehati jemaat Roma untuk menyatakan kasih yang terjadi di dalam keluarga. Kasih yang tulus, tidak mengharapkan fulus. Kasih yang hanya memberi, tak harap kembali. Seperti sinar mentari yang memberikan cahayanya, dan tidak pernah mengharapkan cahayanya itu kembali kepadanya.
Kemudian Paulus memberikan contoh-contoh kasih yang tulus itu di dalam AYAT 9-13; 15. Ia berkata, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan! Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!”
Ilustrasi
Saudara-, suatu kali saya mau parkir di stasiun Gambir. Seperti biasanya, ada seorang juru parkir yang datang membantu saya. Setelah saya selesai parkir dan hendak meninggalkan tempat parkir, tiba-tiba si juru parkir berteriak kepada saya. “Woi mas mana uangnya?” Saya sengaja tidak memberikan uang parkir kepada dia, karena saya sudah membayar biaya parkir di loket masuk, dan bagi saya itu sudah cukup. Ya namanya juga mahasiswa, harus pinter-pinter ngatur duit. Sebenarnya agak gak tega sih, tapi mau gimana lagi? Uang parkir yang saya bayar di depan aja minjem sama temen sebelah. Eh… ini malah minta lebih. Dan lebih parahnya lagi, di seragam tukang parkir tersebut tertulis dengan jelas “NO TIPPING.” Saudara-saudara, budaya meminta tip setelah berbuat baik kepada orang lain nampaknya sudah lekat dengan kehidupan kita. Walaupun seragam si tukang parkir itu tertulis “NO TIPPING” tapi baginya kasih identik dengan fulus.
Aplikasi
Saudara-saudara, kasih itu hendaknya dilakukan dengan hati yang tulus, dan tidak mengharapkan fulus. Kalau dunia mengharapkan imbalan setelah berbuat baik, betapa malunya kita sebagai anak Allah ketika juga mengharapkan imbalan ketika kita berbuat baik kepada orang lain. Kita adalah anak-anak Allah yang telah menerima kasih yang tulus dari Kristus. Kasih yang dia berikan ketika kita masih berdosa. Kasih yang tidak mengharapkan imbalan dari siapapun yang menerima kasih-Nya. Bahkan kasih-Nya yang lebih mahal dari perak dan emas itu tidak mungkin kita mampu untuk membayar-Nya. Karena itu, tuluslah dalam mengasihi orang lain, sama seperti Kristus mengasihi orang berdosa. Kasih seperti sinar mentari yang menerangi bumi. Tulus memberi, dan tidak mengharapkan kembali.
2. Kasih itu tidak membalas kejahatan (ay. 14-21)
Penjelasan
Saudara-saudara, kondisi jemaat Roma pada waktu itu tidaklah baik. Ada konflik antara orang Yahudi Kristen dengan Gentile Kristen, dan ditambah lagi adanya penganiayaan dari pemerintahan Romawi. Saudara-saudara, saya membagi keadaan jemaat Roma menjadi dua macam, yaitu