Menenggak Kesegaran di Padang Gurun
Mazmur 13
Oleh Danny A. Gamadhi
(Dikutip dari buku Mengkhotbahkan Mazmur Ratapan oleh Danny A. Gamadhi)
Adegan 1: Ketika mengalami kesesakan, apa respons kita?
Bertahun-tahun yang lalu, sebelum telepon selular menjadi benda yang lazim, seorang pemimpin seminar bertanya kepada para pesertanya, “Jika seseorang datang ke pertemuan ini, memanggil nama Anda, dan berkata, ‘Ada telepon untuk Anda,’ apakah Anda menduga telepon itu akan menyampaikan kabar baik atau kabar buruk?” Sebagian besar dari kita mengakui bahwa kita akan berpikir itu kabar buruk, tetapi kita tidak yakin mengapa dapat berpikir demikian. Hal ini menunjukkan beban yang pada umumnya ditanggung banyak orang, yakni rasa takut terhadap kabar buruk. Mengapa bisa demikian? Karena memang pada dasarnya hidup kita hari ini dipenuhi dengan kabar buruk, penderitaan, dan masalah yang berlarut-larut. Pengalaman kesesakan ini membawa kita merasa seperti tengah berada di padang gurun yang luas: gersang, panas, tidak ada pemandangan yang indah, dan tidak tampak ujung dari gurun tersebut.
Para teolog juga sering kali mengaitkan pengalaman kesesakan dengan suasana di padang gurun. Oleh sebab itu, dalam perbendaharaan Teologi Spiritual ada sebuah terminologi yang menggambarkan keadaan kekeringan rohani, tidak ditolong Allah, dan penderitaan yang tak kunjung usai sebagai, “the wilderness” atau padang gurun. Keadaan seperti ini dapat dipastikan dialami oleh setiap orang percaya. Pengalaman berada di “padang gurun” dialami seorang janda yang baru kehilangan suaminya. Pengalaman berada di “padang gurun” dialami seorang ayah yang telah tiga bulan di-PHK dan belum mendapatkan pekerjaan lagi. Pengalaman berada di “padang gurun” juga dialami oleh seorang yang terbaring di atas ranjang rumah sakit selama berbulan-bulan dan tak kunjung membaik. “Padang gurun” juga dialami oleh Saudara dan saya hari ini.
(Di sini pengkhotbah dapat memutar video yang berisi pergumulan hidup yang berat, keputusasaan seseorang, masalah rumah tangga, masalah pergaulan, dan kejadian-kejadian lain yang memilukan hati penderitanya. Contoh-contoh konkret dari pergumulan sehari-hari dapat juga ditampilkan dalam bentuk video maupun foto-foto.)
Ada seorang gadis yang baru bertunangan dengan seorang pemuda yang bekerja sebagai tentara. Sebagai kekasih seorang tentara, ia sangat bangga memiliki tunangan yang gagah, tampan, dan yang terpenting sangat mengasihi dirinya. Ketika mereka hendak menikah, mereka terpaksa menunda tanggalnya karena sang pemuda diutus untuk berperang. Sembilan bulan sudah sejak sang pemuda berangkat, tak sekalipun sang gadis mendengar kabar tentangnya. Pikirannya mulai panik dan setiap sore ia berdiri di pintu gerbang rumahnya menanti tunangannya pulang.
Suatu sore pada bulan November yang sejuk, seorang yang pincang berjalan dari kejauhan. Ia berjalan terus menuju rumah si gadis. Gadis tersebut memperhatikan wajah orang ini yang hancur, kulit tubuhnya yang penuh luka bakar, dan sebuah kaki palsu untuk menopang tubuhnya. Tapi yang paling mengejutkan bagi si gadis ialah ia memanggil sang gadis dengan sebutan yang hanya digunakan oleh kekasihnya. Mulutnya terkatup rapat, “Mungkinkah dia itu …?” Pria itu memanggil sekali lagi dan sadarlah ia seketika bahwa orang ini adalah kekasihnya yang pulang dari perang. Sang gadis berlari mendapati kekasihnya, dan dengan mencucurkan air mata, ia memeluknya dengan erat. Saudara tahu kata-kata apa yang pertama kali keluar dari mulut sang gadis? Ia berkata, “Thank God, you’re alive” dan memeluk kekasihnya kembali. Di tengah tragedi yang menimpa gadis itu, ia mampu tetap bersukacita di tengah kesesakan.
Lain halnya dengan gadis tadi, ada beberapa orang lain yang juga menghadapi kesesakan dalam hidupnya. Pada tahun yang sama setidaknya ada empat orang yang menjatuhkan dirinya dari lantai atas sebuah mal besar di Jakarta. Tubuh mereka menghantam lantai yang keras dan kehilangan nyawanya seketika. Salah satu dari mereka adalah seorang bapak berusia 61 tahun. Ia sudah lama tidak bekerja dan tidak memiliki uang lagi. Putus asa dengan hidupnya yang berat, ia memilih untuk mengakhirinya dengan instan. Tetapi tiga di antaranya adalah para gadis muda. Mereka sehat, punya pendapatan, dan punya masa depan. Salah satu dari wanita itu hatinya hancur tatkala ditinggalkan oleh kekasihnya. Ia merasa tidak punya alasan untuk hidup lagi. Pada suatu sore ia menjatuhkan dirinya dari sebuah balkon apartemen yang tingginya lebih dari 20 lantai. Tubuhnya terkejang di tanah setelah menghantam aspal yang keras sampai akhirnya ia tidak bergerak lagi.
Manusia hidup tidak lepas dari masalah dan kesesakan. Kita hidup di tengah dunia yang kompleks,demanding, penuh intrik, melelahkan, bersaing ketat, dan jahat. Pertanyaannya adalah, ketika mengalami kesesakan, apa respons kita? Dapatkah kita tetap segar di tengah padang gurun?