Mengapa Engkau Meninggalkan Aku?
Mazmur 22
Oleh: Pdt. Wahyu ‘wepe’ Pramudya
Pergumulan dan penderitaan yang kita alami di dalam kehidupan ini mempunyai daya guncang yang luar biasa di dalam diri kita. Tidak terbilang berapa banyak orang mengalami stres, lari ke penyalahgunaan obat terlarang, dan bahkan bunuh diri akibat tidak kuat menahan guncangan keras penderitaan hidup ini. Bahkan, meskipun kita adalah orang beriman, kita tidak akan luput dari kerasnya guncangan hidup ini karena pergumulan dan penderitaan. Orang beriman bahkan mengalami guncangan dua kali lipat lebih besar. Pertama karena kerasnya pergumulan dan tekanan hidup; yang kedua karena di dalam pergumulan dan penderitaan itu, sebuah pertanyaan selalu mengusik hati: di manakah Tuhan di tengah penderitaan ini? Mengapa Tuhan hanya diam saja di tengah penderitaanku?
Mengapa Engkau Meninggalkan Aku?
Itu pulalah seruan pemazmur di dalam Mazmur 22, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.” Bukankah ini juga seruan orang beriman di tengah pergumulan, ketakutan, dan masalahnya? Bukankah itu juga seruan Anda dan saya?
Tahukah Anda bahwa itu bukan hanya seruan Anda dan saya? Di atas kayu salib itu, Yesus Kristus, Sang Firman yang menjadi daging, meneriakkan seruan yang sama, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Kayu salib adalah tempat di mana seruan dan pertanyaan manusia di sepanjang zaman digemakan, bahkan oleh Yesus Kristus sendiri: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Begitu kerasnya daya guncang penderitaan bagi hidup orang beriman sehingga sebagian orang terjungkal di perjalanan iman mereka. Di manakah sesungguhnya Tuhan di tengah segala pergumulan, ketakutan, dan penderitaan kita?
Bila kita mengenal Billy Graham sebagai seorang penginjil besar di dunia, maka sesungguhnya kita juga harus mengenal salah seorang rekan pelayanannya yang bernama Charles Templeton. Templeton juga seorang penginjil yang berbobot. Tuhan memakainya secara luar biasa dalam setiap kebaktian yang dipimpinnya. Dalam satu tahun, Templeton berkhotbah kepada 1,5 juta orang. Bahkan sebuah tulisan tentang Charles Templeton yang dimuat di American Magazine edisi Agustus 1953 menyebutnya sebagai Religion’s Super Salesman. Namun, hamba Tuhan besar ini terjatuh dalam perjalanan imannya. Ia berubah menjadi seorang agnostik (meragukan keberadaan Tuhan)?
Di dalam bukunya Farewell to God: My Reasons for Rejecting the Christian Faith, Templeton menjelaskan mengapa ia meninggalkan iman Kristennya untuk menjadi seorang agnostik. “Ada sebuah foto, foto seorang wanita Afrika,” ia menjelaskan. “Mereka menghadapi musim kemarau berkepanjangan. Ia mendekap mayat bayinya sambil menatap langit penuh penderitaan namun tidak berdaya. Saya melihat foto itu dan bertanya, ‘Mungkinkah kita memercayai bahwa di sana ada Sang Pencipta yang maha pengasih dan penyayang, sementara yang mereka butuhkan hanya hujan? Bagaimana mungkin Allah yang maha pengasih melakukan hal demikian pada wanita itu? Siapa yang mengendalikan hujan? Bukan saya, juga bukan Anda, tapi DIA—itulah keyakinan saya. Ketika menatap foto itu, tiba-tiba saja saya tahu, mustahil hal itu terjadi bila di atas sana ada Allah yang mahakasih.” Tempelton terguncang dan bahkan terjatuh dari imannya setelah ia berseru, “Di manakah Tuhan yang mahakasih itu di tengah segala penderitaan di dunia ini?” Di atas kayu salib, Yesus Kristus pun menanyakan hal yang sama, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”
AKU di Sini, di Tengah Penderitaanmu
Di atas kayu salib, sesungguhnya bukan hanya ada pertanyaan, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” tetapi juga ada jawaban yang Tuhan berikan, “Aku di sini, di tengah penderitaanmu.” Bukankah kayu salib adalah sebuah tanda kepedulian Allah terhadap manusia. Firman Tuhan berbunyi, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal” (Yohanes 3:16). Perhatikan kata “mengaruniakan”. Allah adalah pribadi yang menaruh belas kasihan dan rela berkorban memberikan yang terbaik yang dimiliki-Nya, yakni Anak-Nya yang tunggal. Alkitab mengajarkan kepada kita tentang kehidupan Yesus Kristus: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:8). Sang Firman Allah yang menjadi manusia itu mengalami penderitaan yang terberat, bahkan harus melewati kematian. Bukankah kayu salib itu adalah tanda kepedulian Tuhan terhadap pergumulan dan penderitaan kita?
Kayu salib adalah tempat bertemunya seruan “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dan Tuhan menjawab, “Aku ada di sini, di kayu salib ini. Di tengah penderitaan dan pergumulanmu.” Kayu salib adalah tempat pertanyaan manusia sekaligus tempat Tuhan memberikan jawaban atas pertanyaan manusia itu. Jika kita bertanya, “Di manakah Engkau, Tuhan, di tengah pergumulan dan penderitaanku?” pandanglah salib itu. Anda tidak seorang diri, Yesus Kristus pernah menanyakan pertanyaan yang sama. Di atas kayu salib itulah jawaban Tuhan berada, “Aku di sini, di tengah penderitaanmu. Aku di sini, di atas kayu salib ini untuk merasakan penderitaanmu. Ingatlah setelah salib, ada kebangkitan. Setelah pergumulan, ada kemenangan!”