Khotbah Perjanjian Lama

Menikmati Allah dalam Ibadah

Mengimani atribut Allah lewat janji-Nya akan masa depan (future)

Penjelasan

Kita sudah melihat bagaimana agungnya suasana ibadah yang dimaksudkan dalam Mazmur 100.  Namun ada hal lain lagi yang sangat menarik jika kita memperhatikan konteksnya di dalam kanon kitab suci.  Mazmur 100 ada di dalam kumpulan kitab keempat (nomor 90-106) dari lima kumpulan kitab yang ada di seluruh Mazmur. Apa maksudnya?  Sebagian ahli mencoba merangkai kelima kumpulan kitab Mazmur ke dalam suatu alur linier menurut sejarah perjanjian takhta Daud.  Kitab pertama (1-41) berbicara mengenai pertentangan Daud dengan Saul, yakni sebelum kerajaan Daud berdiri.  Kitab kedua (42-72) membahas kehidupan kerajaan Daud yang telah berdiri.  Kitab ketiga (73-89) membahas periode kritis ketika Asyur menggempur Israel.  Kitab keempat (90-106), tempat Mazmur 100 terletak, merefleksikan masa ketika Israel dibuang.  Barulah pada kitab kelima (107-150) orang Israel merayakan kembalinya mereka dari pembuangan dan nubuatan akan zaman yang baru.  Jadi, bisa dikatakan bahwa Mazmur 100 ditulis dalam keadaan yang paling terpuruk, yaitu ketika Israel menjalani hukuman di dalam pembuangan.  Ini adalah suatu zaman ketika mereka sesungguhnya tidak bisa menikmati ibadah sebagaimana yang pernah mereka lakukan sebelum dibuang (bdk. Mzm. 137:1-4).

Hal ini juga bisa kita bandingkan dengan judulnya: “Mazmur untuk korban syukur.”  Seorang penafsir mengatakan bahwa karena judul Mazmur ini singkat, yaitu hanya “untuk korban syukur” dan tidak secara spesifik mengacu pada konteks “untuk perayaan kembalinya tabut Tuhan,” atau “untuk acara penahbisan Bait Suci”, maka kemungkinan Mazmur ini adalah untuk dapat dipakai kembali di dalam ibadah yang lain.

Lebih jauh lagi, bila kita perhatikan catatan kaki di dalam Alkitab TB, kita akan mendapatkan ayat-ayat referensi yang berasal dari kitab Tawarikh, yakni 1Taw.16:34 dan 2Taw. 5:13.  Meskipun kedua ayat ini berbicara tentang perayaan, tetapi perspektifnya sejalan dengan kumpulan kitab keempat Mazmur, yaitu ditulis sebagai suatu kilas balik (flash back) dari pembuangan untuk mengingatkan umat Israel yang sedang dalam pembuangan akan pengharapan yang didasarkan kepada janji Allah.

Dengan demikian Mazmur 100 ini di dalam konteksnya berfungsi  memberikan kekuatan dan penghiburan.  Kekuatan dan penghiburan ini bukan karena suasana atau cara menyanyikannya, tetapi didasarkan pada atribut Allah yang dinyatakan melalui janji-janji-Nya.  Janji-janji ini kembali diingat dan diimani dalam ibadah.  Janji-janji inilah yang menjadi sumber kepuasan bagi setiap orang yang mengikuti ibadah.  Jikalau atribut Allah yang terkait dengan pengalaman masa lalu (past) dirayakan kembali dalam ibadah, maka atribut Allah yang terkait dengan janji masa depan (future) diimani kebaikannya.

Kita yang hidup di zaman setelah Perjanjian Lama memiliki standar ibadah yang lebih tinggi.  Di dalam Wahyu pasal 4 dan 5 dilukiskan penglihatan mengenai keberadaan Allah di surga.  Pasal 4 berbicara tentang Allah Bapa, sedangkan pasal 5 berbicara tentang Kristus.  Keduanya mempunyai pola yang sama, yaitu didahului dengan pemaparan segala atribut Allah, lalu diikuti dengan pujian dan penyembahan kepada-Nya.

Pasal 4 menceritakan Allah Bapa yang dimuliakan karena pekerjaan tangan-Nya yang menciptakan dan memelihara ciptaan-Nya.  Hal ini tidak jauh berbeda dengan konsep yang dipahami oleh orang PL.  Namun pasal 5 berbicara mengenai Kristus yang menebus kembali ciptaan yang telah jatuh dalam dosa sehingga kita mempunyai gambaran akan atribut Allah yang lebih luas dari yang dimiliki orang-orang di zaman PL.  Hasilnya adalah puji-pujian yang lebih mulia dan agung.

Kita yang hidup saat ini seharusnya jauh lebih bisa menikmati Allah dengan segala atribut-Nya di dalam ibadah.  Bukankah seluruh hidup kita adalah bukti nyata akan karya Allah di dalam Kristus dan karena itu harus memuliakan Dia dengan seluruh hidup kita?  Bila Mazmur 100:3 menyebut Allah sebagai gembala, bukankah seharusnya kita jauh lebih mengerti dari pemazmur karena kita mengenal Kristus Sang Gembala yang baik (Yoh. 10:11)?  Bukankah janji-janji di dalam Perjanjian Lama mencapai kesempurnaan di dalam Perjanjian Baru?

Aplikasi

Saudara-saudara, bagaimanakah dengan kita sekalian? Apakah kita sudah menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh menikmati ibadah kita?  (1)  Apakah di dalam ibadah kita selalu berharap akan khotbah yang lucu?  Jika demikian, maka yang kita inginkan belum sampai kepada intinya, yaitu menikmati atribut Allah, tetapi masih berada di seputar aktivitas ibadah yang menghibur (2)  Jika kita mendapatkan kesempatan melayani dalam ibadah, apakah usaha yang terbaik diarahkan agar atribut Allah dapat dinikmati dengan sungguh-sungguh? Jangan-jangan kita berusaha melayani yang terbaik hanya untuk memperlihatkan perfomance.  Jika demikian, maka kita sebenarnya sedang menghambat jemaat untuk menikmati Allah, yaitu dengan cara menyedot perhatian mereka untuk menikmati perfomance kita.  (3)  Pada waktu kita menyusun acara, kita berupaya agar acara tersebut menarik dan dapat dinikmati.  Namun apakah tujuannya itu hanya untuk memberi suasana yang baru, atau sungguh-sungguh mengarahkan acara sedemikian rupa supaya jemaat tidak terhalang untuk menikmati Allah dalam ibadah?

Jika kita mendapati diri kita tidak fokus pada atribut Allah, maka kita harus berhati-hati karena mungkin kita sedang menempatkan sensasi sebagai pusat kenikmatan dalam ibadah.  Sensasi ini mudah dicari orang, tetapi sesungguhnya menyesatkan setiap orang Kristen yang beribadah, karena menawan mereka untuk tidak menikmati Allah itu sendiri dengan segala atribut-Nya.  Dapat dikatakan sensasi ini bersifat present, tanpa perlu kita repot-repot mengingat yang lalu (past), maupun menunggu hingga masa depan (future).

Mungkin Saudara berpikir, mengapa kita tidak boleh menikmati ibadah hanya pada saat ibadah itu berlangsung, tetapi juga harus mempertimbangkan masa lalu dan masa depan?  Ada beberapa alasan.  Pertama, kita harus berpikir bahwa jika kita seperti itu, apa bedanya kita dengan orang-orang non-Kristen yang juga datang beribadah tanpa memiliki pengalaman dan tanpa mengetahui janji-janji Allah?  Mereka juga menikmati ibadah karena suasananya enak, meskipun sesungguhnya tidak memuliakan Allah itu sendiri.  Kedua, keadaan masa kini selalu terkait dengan masa lalu dan masa depan.  Misalnya, Saudara tidak akan mengerti bila saya hanya berkata “Saya saat ini senang.”  Saudara baru bisa memahami perkataan saya bila tahu apa yang saya alami (misalnya saya tadi mendapatkan kabar baik) atau yang saya harapkan (misalnya akan makan enak).  Jika kita berkata bahwa kita bisa menikmati ibadah tanpa ada konteks masa lalu maupun masa depan, maka sebenarnya kita tidak sedang menikmati Allah, tetapi sekadar menikmati suasananya itu sendiri.  Oleh sebab itu, kita harus kembali berfokus kepada atribut Allah itu sendiri, baik melalui pengalaman masa lalu, maupun janji akan masa depan.

Nah, kalau begitu kita kembali kepada permasalahan yang saya kemukakan di awal, “Bolehkah kita menetapkan standar yang tinggi di dalam ibadah?”  Jawabannya adalah “boleh,” jika dapat membantu orang menikmati ibadah.  Karena atribut Allah sangat luar biasa, maka wajar bila kita juga memberikan yang luar biasa di dalam ibadah.  Namun jawabannya adalah “tidak boleh,” jika standar yang tinggi itu dapat mengalihkan orang dari atribut Allah kepada sekadar sensasi yang dinikmati dalam ibadah.

Untuk itu, ada dua sikap yang harus dihindari dalam ibadah, yaitu spontan dan instan.  Pertama, spontan berkaitan dengan sikap bertindak tanpa mau memproses lebih dahulu.  Misalnya, ketika berkata-kata kita seharusnya berpikir dahulu apa yang akan kita katakan, tetapi orang yang spontan akan langsung mengeluarkan kata-kata tanpa memikirkannya dulu.  Jika sikap ini dibawa ke dalam ibadah, maka kita tidak mau repot-repot mengingat pengalaman yang lalu, tetapi langsung mau menikmati ibadah.  Hal ini tentu akan menyeret kita untuk menikmati sensasi ibadah saja.   Kedua, instan berkaitan dengan keinginan mendapatkan hasil tanpa mau menunggu lama.  Contohnya, ketika menyeduh mie instan, kita ingin hanya menunggu sebentar, tetapi mienya siap dimakan.  Jika sikap ini dibawa ke dalam ibadah, janji-janji Allah akan kita abaikan apabila kita tidak merasakan dampaknya pada saat kita beribadah itu juga.  Kita keluar dengan tidak membawa manfaat dan hanya merasakan sensasi ketika ibadah berlangsung.  Kedua sikap ini adalah musuh yang menghambat kita untuk bisa menikmati ibadah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *