Tertipukah Tuhan?
Yesaya 58:1-14
Oleh Daniel
Saudara, setiap kita rasa-rasanya pernah “tertipu.” Pengalaman ketika “tertipu” sangat tidak menyenangkan. Pengalaman itu akan terasa sangat menyakitkan jika si penipu adalah someone yang paling kita cintai atau hamba Tuhan yang sangat kita kagumi.
Saudara, mungkin video berikut ini pernah atau akan membuat kita tertipu. Mari kita perhatikan. (tampilkan video, pause pada menit 01:01). Saudara, percayakah saudara jika saya katakan bahwa “wanita” ini sebenarnya adalah laki-laki? Mari kita lihat kelanjutkannya:
(lanjutkan sampai menit 02:49).
Uniknya saudara, tipuan yang dilakukan oleh Bell Nuntita bukannya berdampak menyakitkan tetapi justru memukau banyak orang. Meskipun dilahirkan sebagai seorang laki-laki, namun malam itu Nuntita tampil sangat cantik,melebihi kecantikan banyak wanita asli. Suara ke”wanita”annya pun lumayan OK. Luar biasa sekali. Saudara, apa yang dilakukan Nuntita merupakan contoh kejeniusan manusia pada umumnya. Apa maksudnya? Maksudnya adalah pada umumnya manusia begitu pintar “memoles” bagian luar dirinya sehingga bagian yang sebenarnya tertutup rapi. Bahkan, saking pintarnya manusia “memoles,”, ia merasa dapat menipu Tuhan.
Saudara-saudara, inilah yang dilakukan oleh bangsa Israel sebagaimana dinyatakan di dalam teks bacaan kita. Israel dengan sangat jenius memoles ibadahnya sedemikian rupa hingga tampak sangat religius. Tujuannya supaya Tuhan dapat “tertipu” dan akhirnya memberkati mereka. Tetapi tertipukah Tuhan?
Kalau kita perhatikan ay. 3, disana Israel melontarkan complaint: “Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?” Ini adalah sebuah complaint yang sifatnya menuntut dan keluar dari hati yang kecewa. Saudara, sebenarnya complaint ini sangat wajar kalau kita hanya memperhatikan ay. 2. Betapa tidak? (1) Israel dikatakan mencari Tuhan setiap hari. (2)Israel suka untuk mengenal segala jalan Tuhan (secara literal: Israel begitu ingin sekali/begitu berhasrat menyelidiki jalan Tuhan. (3) Israel menanyakan hukum-hukum yang benar. Nah, di sini, frasa “hukum-hukum yang benar” sangat menarik. Frasa ini adalah hasil penggabungan dua kata indah di dalam Alkitab, yang hanya ada 5x saja di Alkitab dan digunakan untuk menyatakan kesungguhan dan minat untuk belajar – Mzm 119:7, 62, 160, 164. Kedua kata ini menggambarkan karakter Allah, dan dapat diterjemahkan hampir sama, yaitu: hukum, keadilan, kebenaran, kejujuran. Sekarang kedua kata ini digabung. Ini menunjukkan bahwa Israel sungguh-sungguh berminat mempelajari hukum-hukum yang benar-benar benar, hukum-hukum yang benar-benar adil. Dengan kata lain Israel mempelajari Allah sendiri. Keren , bukan? (4) Israel suka mendekat menghadap Allah. (5) Israel bahkan Berpuasa dan merendahkan diri. Dalam konteks Yesaya 58, puasa diekspresikan dengan “jiwa yang merana dan hati yang terluka.”
Coba bayangkan seorang saudagar kaya yang setiap harinya berpakaian ungu dan berpesta pora kini mengenakan pakaian compang camping, meletakkan abu di atas kepala dan berbaring di tanah serta meraung-raung dalam tangisan pedih. Di dalam kasus Ezra (Ezra 9:3-4), ia bahkan mengoyakkan pakaian dan jubahnya, mencabut rambut kepala dan janggutnya dan duduk tertegun sampai petang. Itulah ritual ibadah Israel: setiap hari mencari Tuhan, bergairah menyelidiki segala jalan Tuhan, menanyakan hukum-hukum yang benar-benar benar, berhasrat mendekat menghadap Allah, berpuasa dan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Hebat dan luar biasa: ibadah luarnya tampak begitu sempurna, memukau bagaikan “si cantik” Nuntita ketika bernyanyi dalam suara soprannya. Tetapi, apakah Allah seperti 3 juri TGT yang meluluskan Nuntita? Tertipukah Allah dengan tampak luar?
Saudara, suatu saat ketika sedang ngemil, ada seekor semut yang kesasar di cemilan saya. Saya mengambil semut itu dari cemilan dan menaruhnya sedikit jauh dari cemilan tersebut. Ia dalam keadaan terluka. Beberapa menit kemudian saya terkejut ketika melihat kaget ada 5 ekor semut lain sedang menggotong temannya yang terluka itu. Dalam imajinasi saya: “Oh, pasti akan dibawa ke RSS—Rumah Sakit Semut.” Saudara, kelimasemut itu begitu tekun dan rela menggotong temannya yang terluka sekalipun mereka juga bisa jadi akan terluka, atau bahkan kehilangan nyawa. Saudara, dibandingkan semut tadi, tampaknya ibadah Israel memang memukau, tetapi apa yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari sangat berbeda. Bukannya “menggotong” sesama mereka yang miskin, lapar, telanjang atau tidak punya rumah, umat Israel justru saling berbantah dan berkelahi, tidak semena-mena dan menindas kaum lemah. Kayaknya Israel perlu belajar dari semut. Sampai di sini kesimpulan yang kita peroleh adalah bahwa Israel ternyata tidak mengenal Tuhannya dengan benar.
Namun demikian, kasih Tuhan Allah kita begitu besar. Meskipun mengecam dosa umat-Nya. Allah juga memberitahukan kepada Israel bagaimana ibadah yang dikehendaki-Nya, bahkan menjamin pemberian berkat bagi yang melakukannya. Kalau kita membandingkan puasa yang dikehendaki Allah di ayat 6-7 dengan ibadah yang benar menurut Yesus di Matius 25:35-36, kita akan menemukan kesamaan yang menarik, yaitu: “Beri makan yang lapar; beri tumpangan yang miskin; beri pakaian yang telanjang; peduli dan kunjungi yang kesepian.” Saudara, ibadah bukan hanya masalah keintiman dengan Tuhan. Ibadah juga berarti akrab dengan sesama; mengasihi Tuhan lebih dari apapun dan mengasihi sesama seperti diri sendiri. Ibadah yang benar bukan hanya soal hubungan pribadi dengan Tuhan, melainkan juga soal hubungan pribadi dengan sesama.
Firman Tuhan di dalam Yakobus 1:27 menyebutkan: “Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.” Dengan demikian, Allah seakan-akan ingin berkata: “Bohong kalo kalian berkata beribadah kepada-Ku tetapi kamu tidak peduli kepada orang lapar, miskin, telanjang, dan kesepian.” Hal serupa dapat ditemukan di dalam 1 Yohanes 4:20: “Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.”
Saudara, saya pernah mendapatkan kesempatan melayani di sebuah kota bersama seorang pengusaha. Pelayanannya adalah membagikan “roti dan aqua gelas” kepada para gelandangan dan pengemis yang ditemui di jalan. Biasanya setelah roti diberikan, kami memegang pundak mereka sambil mengucapkan kalimat:“Pak, ini berkat dari Gusti Yesus. Gusti Yesus sayang sama kita, Gusti Yesus sayang Bapak.” Kalau responnya baik, kami menceritakan kepadanya karya Yesus yang mati disalib karena dosa manusia, dan jalan keselamatan yang diberikan kepada siapa saja yang percaya kepada-Nya.
Nah, suatu kali saya mendapatkan pengalaman yang menarik. Diantara “langganan” kami, ada seorang bapak yang unik. Waktu pertama kali bertemu dengan bapak itu, ada perasaan jijik dalam hati saya karena bapak itu kena kusta. Ketika mendekatinya dan memberikan “paket berkat” kepadanya, saya ogah-ogahan dan hampir tidak punya niat untuk memberi. Saya terpaksa ngasih karena pengusaha yang mengajak saya meminta saya untuk memberikan paket kepada si pengemis kusta. Sekembalinya dari pelayanan malam itu, saat berdoa sebelum tidur, Tuhan menegur saya dan menunjukkan betapa borok, busuk, dan kustanya hati saya; penuh kepura-puraan dan kepalsuan. Malam itu saya tidur sambil membatin: “Kayaknya saya munafik deh.”
Puji Tuhan, Allah itu baik. Dua minggu kemudian saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu kembali dengan si bapak itu. Saya ingat, malam itu dengan bersemangat saya menawarkan diri untuk memberikan roti kepada si pengemis. Tetapi dasar manusia, ketika turun dari mobil dan berjalan mendekat, saya menjadi takut lagi. Meskipun masih jauh, bau kustanya sudah sangat menyengat. Pasti kustanya semakin parah. Sambil melangkah, dalam hati saya berdoa: “Tuhan, bagaimana ini. Koq jadi takut begini? Tolong saya, Tuhan, supaya saya bisa mengasihi dengan tulus.” Saudara, ketika pengemis kusta tersebut menyadari kedatangan kami, saya merasa senang. Sang pengemis pasti akan menerima paket dengan sukacita, dan saya akan pulang tanpa rasa bersalah lagi. Tetapi alangkah terkejutnya ketika saya mendekat, ia berteriak: “Makasih dik. Gak usah. Gak usah dekat-dekat. Pergi saja. Saya sangat bau. Tolong pergi saja.”
Oh Saudara, mendengar itu saya hampir menangis. Di saat yang sama dengan keluarnya kalimat si pengemis kusta, Tuhan sepertinya berbicara kepada saya: “Coba lihat dirimu. Bukankah kamu yang seharusnya mengatakan itu kepada Saya. Bukankah sesungguhnya kamulah yang bau; kamulah yang berpenyakitan; kamulah yang kotor. Mengapa kamu selama ini merasa layak mendekat kepada-Ku? Mengapa selama ini kamu merasa sangat hebat ketika demi menjalani panggilanmu, kamu rela meninggalkan pekerjaan, karir dan impianmu?”
Saudara, malam itu, ketika roti sudah diberikan, saya memegang tubuh kusta yang dibalut selimut kusut itu dan berdoa untuk dia. Saat ini saya tidak tahu apakah bapak itu masih hidup atau sudah meninggal, tetapi satu hal yang pasti adalah: bapak pengemis kusta itu telah dipakai Tuhan menjadi berkat bagi saya. Melalui pelayanan sosial yang sederhana itu, Tuhan mengizinkan saya merasakan apa artinya ucapan Yesaya: “Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar.” Saya sekarang mengerti apa maksud “terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari.” Saya mengalami kekuatan yang dibaharui dan hati yang dipuaskan oleh TUHAN di tanah yang kering.” Melalui pelayanan sosial yang sederhana itu, saya diajarkan bagaimana menjadi seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan.”
Saudara, perbedaan yang paling jelas antara kita dengan orang Israel adalah kenyataan bahwa kita hidup di zaman, budaya dan cara beribadah yang berbeda dengan mereka. Akan tetapi, bukankah ritual yang kita miliki persissama? Kita berusaha bersaat teduh setiap hari, menyelidiki segala jalan Tuhan, berpuasa, berdoa dan merendahkan diri. Namun demikian, seperti orang Israel, di sekeliling kita ada banyak orang miskin, terlunta, butuh bantuan, dan orang-orang yang memupunyai banyak persoalan? Inilah saatnya bagi kita untuk bertanya: “Apakah di hadapan Tuhan saya menampilkan kepalsuan? Saya punya pelayanan yang banyak, padahal hati saya penuh borok, busuk dan berpenyakit kusta? Saya punya banyak pelayanan, tetapi tidak memiliki belas kasihan sebagaimana telah ditunjukkan Tuhan kepada kita? Apakah selama ini saya seperti Israel, mencoba menipu Tuhan dengan tampilan luar ibadah saya? Sepertinya saya mengasihi Tuhan padahal sebenarnya tidak peduli terhadap sesama?
Saudara-saudara, hari ini Firman Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan tidak mungkin tertipu! Karena itu, mari tanggalkan kepalsuan dan kenakan ibadah yang murni. Jalinlah relasi intim dengan Tuhan dan tunjukkan kepedulianmu kepada sesama. Mari kita mulai dengan satu tindakan kasih hari ini. Mari kita peduli dan berbagi dengan sesama yang Tuhan tempatkan di dekat kita. Jaminan berkat dan penyertaan Tuhan akan menjadi bagian kita. Kiranya Roh Kudus menolong kita semua.