Jangan Menjadi Batu Sandungan bagi Saudaramu!
Roma 14:13-23
Oleh: Desi Cut Frisca
Pendahuluan
Komunitas Yahudi pertama[1] yang percaya kepada Yesus Kristus telah menjadi satu contoh teladan bagaimana kehidupan sesama orang percaya setelah menerima anugerah keselamatan. Suasana yang saling membangun, saling menguatkan, saling berbagi, dan saling memiliki, menjadi suatu gaya hidup bagi mereka. Namun, kisah yang sering dijadikan contoh oleh gereja-gereja ini, tidak mudah untuk mengaplikasikannya. Tidak sedikit terdengar bahwa di dalam gereja masih terjadi tindakan saling menjatuhkan, saling menghakimi, saling menuntut, yang akhirnya satu sama lain tidak lagi saling membangun tetapi saling menjadi batu sandungan.
Hal inilah yang terjadi di dalam jemaat Roma. Di tengah jemaat yang hidup dengan harmonis sebagai orang percaya, ternyata ada golongan-golongan tertentu yang saling bertentangan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan dari segi kerohanian, yang akhirnya berdampak pada aspek lainnya, yaitu etika, moral, dan kehidupan sehari-hari.
Di dalam Roma 14:13-23, Paulus hendak menasehatkan jemaat ini yang khusus membicarakan mengenai kehidupan antar saudara seiman agar mereka tidak saling menghakimi dan tidak menjadi batu sandungan. Tulisan ini dimaksudkan agar melalui pembahasan ini pembaca dapat memahami dengan jelas apa sebenarnya maksud Paulus ketika menuliskan bagian ini. Bagaimanakah keadaan jemaat pada saat itu? Apakah yang melatarbelakangi permasalahan tersebut? Dan bagaimana solusinya? Melalui pembahasan ini diharapkan pembaca dapat mengerti dengan jelas mengenai pesan Paulus agar jangan saling menghakimi dan saling menjadi batu sandungan satu sama lain, sehingga hal tersebut dapat teraplikasikan dalam kehidupan orang percaya pada zaman ini.
Latar Belakang Permasalahan
Roma merupakan kota yang terbesar di dunia dan ibukota kekaisaran yang teragung yang pernah ada di dunia. [2] Budaya yang sangat mempengaruhi kota ini ialah budaya Yudaisme yang sangat kuat.[3] Paulus sudah sangat sering ingin mengunjungi kota ini, namun ia banyak mendapatkan rintangan-rintangan menuju ke sana (Roma 1:13). Karena itu, sekitar tahun 57 A.D, Paulus menuliskan suratnya kepada jemaat Roma ketika dia sedang berada di Korintus dalam perjalanan menuju ke Spanyol (Roma 15:24).[4] Di dalam suratnya, Paulus hendak menuliskan mengenai inti dari kepercayaan Kristen. Dengan harapan, Paulus dapat membangun pola (stuktur) dasar iman jemaat, sehingga bila pencemaran itu melanda, mereka sudah mempunyai pertahanan yang efektif dan kuat atas dasar doktrin Kristen yang benar. [5]
Setelah Paulus banyak membahas mengenai dasar doktrin Kristen pada pasal 2-11, Paulus memulai nasehat-nasehatnya yang bersifat praktikal di pasal 12-15. Secara khusus pada pasal 14, Paulus menasehati agar sebagai saudara seiman, mereka tidak saling menghakimi, tetapi saling membangun, sebagai aplikasi dari setiap dasar pengajaran yang sudah diajarkan. Pada pasal 14:13-23 ini, Paulus dengan spesifik membahas mengenai perilaku jemaat perihal makanan. Sangat terlihat, bagaimana perihal ini begitu spesifik dan sepertinya sangat penting untuk dibahas. Karena itu timbul pertanyaan, sebenarnya siapakah jemaat Roma ini? Bagaimanakah relasi mereka satu sama lain?
Mengenai asal-usul jemaat Roma, tidak ada indikasi yang jelas. Namun yang pasti, di dalamnya terdapat orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi (Rm. 1:13). Bahkan ada salah satu sumber menyatakan bahwa di Roma terdapat 40.000-50.000 orang Yahudi pada abad pertama.[6] Namun jemaat Roma yang begitu dipuji-puji[7] oleh Paulus ini, ternyata memiliki perpecahan-perpecahan di dalamnya. Salah satu konflik utama yang terjadi ialah mengenai perbedaan antara “kaum lemah” dan “kaum kuat” dan penjelasan mengenai bagaimana kaum kuat seharusnya menuntun kaum lemah ketika mereka jatuh. Dalam hal ini sangat kental permasalahan tentang pembedaan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi.[8]
Bagian ini menjelaskan mengenai makanan yang dapat membuat kaum lemah menjadi jatuh tersandung. Terdapat kata makan (makanan) sebanyak 7 kali dan minum (minuman) 2 kali. Bagi orang yang kuat iman, perihal makanan tidaklah menjadi masalah karena bagi Tuhan hal itu bukanlah yang menjadi fokus utama. Tidak ada pembedaan bagi orang yang makan atau tidak makan sesuatu. Allah tetap menyambut orang, baik yang makan sayur, makan daging, menguduskan hari Sabat, dan lain-lain.[9]
Ada tiga hal yang membuat kaum lemah menjadi lemah. [10] Pertama, makan daging. Kaum lemah hanya boleh makan sayur-sayuran, sementara kaum kuat boleh makan segala jenis makanan (14:2). Kedua, minum anggur. Ada kemungkinan pasal 14:17 di mana disebutkan mengenai minuman, mengarah pada minum anggur yang dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat dienggani untuk dilakukan. Selain itu, minum anggur menurut kaum lemah juga dianggap ada hubungannya dengan persembahan binatang.[11] Ketiga, melakukan sesuatu yang membuat saudaranya jatuh tersandung sesuai dengan subyektifitasannya masing-masing. [12]
Melihat penjelasan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa baik kaum kuat maupun kaum lemah telah dipengaruhi oleh sejarah dalam Perjanjian Lama mengenai pandangan mereka mengenai makanan. Pada zaman Perjanjian Lama, orang Kanaan memiliki kebiasaan umum yaitu ketika mereka menyembah berhala, mereka datang dengan mempersembahkan makanan kepada berhala tersebut. [13] Hal inilah yang dikemukan oleh Paulus yaitu larangan mengenai keterlibatan orang-orang Kristen dalam pesta, makan, dan penyembahan berhala tersebut. Namun, Paulus tidak hanya menegur dari sisi tersebut, tetapi lebih cenderung kepada persoalan etika Kristen terhadap immoralitas dalam penyembahan berhala di kuil-kuil.[14]
Makanan najis atau tidak najis ditentukan oleh masing-masing pribadi. Hal ini bukan berarti dosa itu bergantung pada suara hati masing-masing.[15] Nasehat Paulus ialah supaya kaum kuat dapat menempatkan dirinya pada tempat yang tepat. Paulus juga hendak mengingatkan kaum kuat bahwa adalah benar jika kaum lemah menolak untuk makan makanan yang tidak suci.[16] Memang, kata koino.n yang dipakai pada bagian ini dapat diartikan sebagai hal yang biasa dan sudah lazim, tetapi dalam keagamaan hal itu menjadi tidak suci atau najis, bagi mereka yang beranggapan itu najis.[17] Paulus sedang tidak mengeneralisasi dosa. Bukan berarti dosa itu dikatakan dosa atau bukan hanya berdasarkan apa yang orang lain katakan.[18]
Paulus menyadari bahwa di dalam tradisi Yahudi, masalah makanan dan minuman yang halal maupun yang haram, sangatlah kental. Orang-orang Yahudi memiliki aturan-aturan yang sangat ketat mengenai makanan dan minuman yang diklasifikasikan berdasarkan firman Tuhan yang dicatat dalam Imamat 11.[19] Namun di dalam Kristus, Paulus lebih mau menekankan akan esensi dari aturan-aturan tersebut yaitu keyakinan pribadi harus diletakkan di bawah kesejahteraan rohani Kerajaan Allah karena kemuliaan penuh bagi Allah hanya dapat dipertahankan di mana ada kesatuan.[20] Yang terutama ialah bagaimana persekutuan kita dengan Tuhan terus bertumbuh dan bagaimana totalitas hidup kita di hadapan Tuhan untuk terus berkomitmen melakukan apa yang benar di hadapan-Nya.[21]