Site icon

Damai di Tengah Gejolak Hidup

Damai di Tengah Gejolak Hidup (Filipi 4:2-9)

oleh : Pdt. Wahyu ‘wepe’ Pramudya

 

4:2 Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan. 4:3 Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain, yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan. 4:4 Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! 4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! 4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. 4:7 Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. 4:8 Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. 4:9 Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.

 

Kalau kepada kita ditawarkan sebuah kehidupan yang penuh dengan gejolak, penuh pergumulan, dan penuh permasalahan atau sebuah kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan perasaan nyaman; manakah yang akan kita pilih? Apakah kita ingin menjalani kehidupan yang penuh dengan kericuhan dan penuh air mata, ataukah kita ingin menjalani kehidupan yang aman dan damai? Saya rasa kalau kita masih punya akal sehat, pastilah kita mendambakan sebuah kehidupan yang penuh dengan perasaan aman dan nyaman. Pastilah kita memilih sebuah kehidupan yang sebisa-bisanya dapat kita kendalikan di tangan kita sehingga kita merasa tenteram dan nyaman.

Manusia sangat menginginkan perasaan nyaman, namun ironisnya, menurut seorang sejarawan, manusia hanya mengalami 206 tahun keadaan damai di sepanjang sejarah peradabannya yang telah berlangsung setidaknya selama 3.100 tahun. Hanya ada 206 tahun ketenangan hidup tanpa perang di dalam aras nasional maupun aras internasional. Artinya, di tengah-tengah kehidupan manusia yang katanya cinta damai dan menyukai perasaan aman tenteram ini, terbukti hanya 7-8 persen dari harapannya akan perdamaian itu menjadi kenyataan.

Tampaknya terdapat dualisme di dalam kehidupan manusia. Di satu sisi manusia menyukai kedamaian, kenyamanan, dan perasaan aman, tetapi di sisi yang lain manusia menumpahkan darah dengan tangannya.

Kita ingin nyaman dan aman, tetapi di sisi lain kita sering mengganggu dan menimbulkan ketidaknyamanan. Itulah dualisme yang hidup di dalam diri kita. Kita tidak ingin hidup susah dan sengsara, tetapi justru karena kita tidak ingin susah dan sengsara itu, maka mungkin kita sudah menyusahkan dan menyengsarakan orang lain.

Dualisme seperti ini dengan bagus digambarkan dan dipertanyakan oleh sebuah lagu yang sering saya dengar sewaktu saya masih kecil di Semarang. Di Semarang saya tinggal di daerah di mana saudara-saudara kita yang beragama Islam itu sering berlatih kasidah, yaitu musik irama padang pasir. Saya sering mendengarkan mereka latihan lagu yang berjudul “Perdamaian”. Sebagian syairnya berbunyi, “perdamaian, perdamaian… banyak yang cinta damai…”, lalu dibalas oleh yang lain, “tapi peperangan makin ramai…” Dan yang menarik bagi saya adalah jawaban serentak dari anggota kasidah itu, langsung “bingung, bingung, memikirkan….” Saya rasa lagu itu sangat mewakili dualisme yang ada di dalam hidup kita. Di satu sisi kita menginginkan kedamaian, tetapi di sisi lain tangan kita penuh dengan darah dan menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain.

Adanya dualisme di dalam diri kita ini harus benar-benar disadari sebelum kita buru-buru menyalahkan orang lain untuk pergumulan dan tidak adanya kedamaian di dalam diri kita.

Janganlah sampai kita dengan tergesa menunjuk orang lain saat kita mengalami ketidaknyamanan. Kita harus menyadari bahwa sewaktu menunjuk orang lain, tepat saat itu juga sebenarnya kita sedang menimbulkan ketidaknyamanan di hati orang tersebut. Pada saat yang demikian inilah dualisme itu terjadi: tidak seorang pun bersih dari kecenderungan untuk membuat orang merasa tidak nyaman. Saya juga menyadari bahwa di dunia ini ada hal-hal yang terjadi bukan karena kesalahan orang lain kepada kita dan bukan karena kesalahan kita kepada orang lain. Ada situasi yang tidak menyenangkan itu terjadi begitu saja di luar kendali dan di luar kuasa kita, seperti bencana alam.

Sebanyak 92 persen penuh sejarah manusia dipenuhi dengan kekerasan. Siapa yang bisa mengendalikan itu? Tidak ada! Tidak mudah bagi kita untuk menjalani hidup di dalam dunia yang bahkan 92 persennya berada di dalam masa-masa yang tidak nyaman dan tidak tenang. Rasul Paulus berkata kepada kita melalui Filipi 4, terutama dalam ayat 4:7, “Aku katakan kepadamu bersukacitalah.” Pada saat ia mengatakan demikian, sebenarnya ia sedang berada di dalam suasana yang secara manusiawi tidak mungkin bersukacita. Paulus sedang mempunyai masalah yang besar karena sedang berada di dalam penjara. Ditambah lagi dengan keadaan jemaatnya yang dilanda perselisihan. Ia juga sedang mempunyai masalah besar karena banyak orang memfitnah dirinya dan menyangsikan pelayanannya. Akan tetapi, ia terus berkata kepada jemaat, “bersukacitalah, bersukacitalah!” dan ia meneruskan dengan berkata, “hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang”, artinya ia ingin mengajak kita semua agar jangan membalas dendam. Janganlah membalas ketika kita berpikir orang lain menyengsarakan hidup kita dan membuat hidup kita tidak ada damai. Yang terpenting saat dunia berada dalam situasi yang tidak aman dan saat segala sesuatu berjalan di luar dugaan kita, kita harus mengingat apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam ayat 7, “Biar damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu di dalam Kristus Yesus.” Ini merupakan sesuatu hal yang tidak biasa karena biasanya kita bisa merasa damai sejahtera jika segala sesuatunya berjalan dengan baik dan lingkungan kita berada di dalam situasi yang menyenangkan. Kita bisa berkata mengalami damai sejahtera ketika semua rencana kita berhasil. Akan tetapi, yang dikatakan oleh Rasul Paulus justru sebaliknya. Di dalam situasi ketidaknyamanan dan tidak ada damai sejahtera, biarlah damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal memelihara hati dan pikiran kita.

 Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin kita diharapkan Tuhan untuk merasa damai sejahtera pada saat kita gelisah dan penuh dengan masalah?

Bagaimana mungkin kita merasa damai sejahtera ketika banyak hal terjadi di hidup ini dan itu terjadi di luar kehendak kita? Saya rasa Paulus juga tidak menyukai apa yang terjadi pada dirinya. Dulu sebelum Paulus bertobat ia mengejar-ngejar murid Tuhan, tetapi setelah ia bertobat justru sebaliknya, ia yang dikejar-kejar. Dulu Paulus menganiaya, sekarang ia yang dianiaya. Dulu Paulus memfitnah orang Kristen, sekarang ia yang difitnah oleh orang lain, bahkan oleh saudara-saudara seiman sendiri. Di dalam situasi seperti itu, Paulus layak untuk mengeluh dan layak untuk marah. Paulus layak untuk menjadi tidak puas dan menyalahkan jemaatnya, menyalahkan dunia, dan bahkan menyalahkan Tuhan. Akan tetapi, Paulus tidak menyalahkan siapa pun. Mengapa? Karena di ayat 7 Paulus mengatakan bahwa damai sejahtera Allah yang melampaui akal pikiran menguasainya. Dengan kata lain, ia ditopang oleh kekuatan yang berasal dari Allah sendiri. Paulus ditopang oleh damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal pikiran. Paulus tidak bergantung pada apa yang terjadi di dunia ini, apa yang terjadi di sekelilingnya, tetapi betul-betul bergantung pada anugerah Tuhan yang menopang hidup Paulus.

Bagaimana ini bisa terjadi pada diri Paulus? Bagaimana ia bisa dipelihara oleh damai sejahtera Allah yang melampaui segala pikiran? Apakah karena ia adalah Paulus? Apakah karena Paulus seorang rasul maka ia punya hak istimewa itu? Saya rasa tidak. Dalam ayat yang ke-6, Paulus mengemukakan rahasia bagaimana topangan damai sejahtera Allah itu bekerja di dalam hatinya, “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur”. Paulus ditopang oleh damai sejahtera itu bukan karena ia rasul, bukan karena ia seorang pelayan. Paulus sudah belajar untuk menyerahkan dirinya, untuk berserah di dalam karya dan kuasa Allah di dalam doa-doanya. Paulus sudah menemukan bahwa ketika ia berserah kepada Allah di dalam doa dan permohonan serta berhenti menyalahkan apa yang terjadi di sekitarnya, saat itulah topangan damai sejahtera kepada Allah itu diberikan. Dari pengalaman hidupnya Paulus sudah belajar bahwa kunci untuk mendapatkan damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal itu adalah penyerahan diri. Namun, penyerahan diri itu memang bukan hal yang mudah karena kita selalu ingin memegang kontrol dan ingin segala sesuatu terjadi sesuai dengan harapan kita. Padahal, sebagai manusia, yang pertama harus kita sadari dan akui adalah dengan kerendahan hati kita mengatakan bahwa kita ini terbatas.

Saya teringat sebuah pengalaman pernah terjadi dalam hidup saya. Suatu kali saya mendampingi beberapa anak remaja untuk ikut kamp. Di kamp itu diadakan acara outbound dan saya sebagai pendamping anak-anak remaja itu harus ikut juga. Salah satu materi acara outbound tersebut adalah turun tebing yang tingginya kurang lebih 35-40 meter. Waktu saya sampaikan kepada anak-anak remaja tersebut bahwa nanti semua peserta harus turun tebing dengan tali dan pengamannya, wajah mereka menjadi pucat. Anak-anak remaja tersebut mengajukan berbagai alasan agar bisa menghindar dari acara outbound itu. Berusaha sebagai seorang pembimbing yang baik saya meyakinkan dan menyemangati mereka agar mereka tidak kecil hati. Namun, yang terjadi di luar dugaan saya! Ternyata yang harus melewati sesi turun tebing itu bukan hanya peserta, para pembimbing pun harus ikut turun.

Di sini muncul masalah. Sebelumnya saya sudah menyemangati anak-anak remaja saya dan sekarang saya harus membuktikannya sendiri. Tidak ada alasan untuk menghindari turun tebing ini, dan giliran pertama diberikan kepada saya. Wah, rasanya deg-degan dan saya merasa di antara ingin maju atau mundur. Saya ingin mundur, tetapi saya tidak mungkin melakukannya karena terikat oleh kata-kata yang saya sampaikan kepada anak-anak remaja tadi. Sekarang sambil tertawa-tawa, anak-anak itu ganti menyemangati saya. Ketika saya sudah berada di posisi yang tepat untuk memulai, saya diberi petunjuk, “Pak, tenang saja. Kalaupun Bapak jatuh, tali yang menopang Bapak akan membuat Bapak tergantung dan tidak jatuh ke sungai di bawah itu. Sekarang Bapak relaks dan turun. Relaks, Pak! Relaks! Badan Bapak condongkan ke belakang!” Saya melihat ke bawah dan bertanya-tanya, “Benarkah tali ini kuat untuk menurunkan saya 35-40 meter ke bawah? Benarkah tidak akan terjadi apa-apa?” Pelan-pelan instrukturnya mendorong saya. Saya kaget, tetapi ketika saya berhasil memiringkan badan dan berhasil melakukan jejakan pertama, akhirnya saya bisa menemukan sedikit kenikmatan. Pada akhirnya saya bisa menuruni tebing itu dan mendapatkan ucapan selamat dari anak-anak remaja yang saya bimbing.

Dari pengalaman tersebut saya menyadari betapa susahnya bagi kita sebagai manusia untuk bersikap relaks, percaya, dan bersikap pasrah di tengah situasi yang mencekam, seperti perasaan saya ketika itu. Betapa seringnya kita tidak merasakan damai sejahtera Allah yang menguasai hati dan pikiran kita ketika kita dalam pergumulan. Jelas, kita sering tidak punya penyerahan diri dan berkata, “Tuhan biarlah kehendakmu terjadi atas saya.” Sering kali kita tidak merasakan damai sejahtera yang melampaui akal karena kita sibuk menunjuk dan sibuk meyalahkan serta sibuk menyesali. Kita sibuk melakukan banyak hal yang sesungguhnya malah membuat kita semakin jauh dari penyerahan diri.

Seperti pada saat menuruni tebing itu, saya sebenarnya ingin mengomel dan mempertanyakan, meng­apa saya harus menjalani acara itu? Akan tetapi, saya memilih untuk berserah dan men­de­ngar­kan apa yang dikatakan instrukturnya kepada saya. Ketika saya mendapati diri saya memercayakan diri kepada tali itu dan kepada instruktur saya yang berpengalaman, maka saya mulai menemukan ada­nya ketenangan sampai akhirnya semua juga bisa terselesaikan dengan baik.

Jadi, kegagalan kita dalam merasakan damai sejahtera terjadi bukan karena Allah tidak memberikannya.

Itu bukan karena Allah tidak mengalirkan damai sejahtera itu dari surga. Namun, sering kali masalahnya ada pada diri kita sendiri. Kita terus-menerus sibuk melakukan banyak hal, menyalahkan banyak hal dan banyak orang serta situasi sehingga kita tidak bisa belajar untuk berserah sepenuh-penuhnya dan sedalam-dalamnya. Berserah bukan menyerah. Berserah bukan mutung dan marah kepada Tuhan,“Yo wis Tuhan, silakan. Suka-sukamu.” Tetapi berserah adalah menyadari bahwa kita sudah melakukan terbaik yang kita bisa, tetapi toh kenyataan terjadi di luar harapan kita. Apa lagi yang harus kita sesali kalau kita sudah mencoba yang terbaik dalam hidup kita? Apa lagi yang kita sesali jika jalan yang paling baik di dalam pikiran kita sudah kita lakukan? Berserah berarti mengakui betapa terbatasnya manusia dan betapa Tuhan itu Mahakuasa.

Ketika kita berserah, berhenti menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain, dan menyalahkan lingkungan, maka saat itulah damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal pikiran itu akan menopang hidup kita.

Jangan menyalahkan Allah mengapa tidak memberikan damai sejahtera. Jangan salahkan orang lain mengapa tidak menciptakan damai sejahtera itu untuk diri kita, tetapi lihatlah apa di dalam hati ini ada penyerahan? Ataukah justru ada banyak tuduhan, pertanyaan, ketidakpuasan dan kemarahan yang belum reda? Ketika kita berserah damai sejahtera itu akan memenuhi hati kita. Bukan damai sejahtera yang datang atau terjadi di sekeliling kita, tetapi damai sejahtera yang datang dari takhta Allah. Damai sejahtera yang melampaui segala akal.

Exit mobile version