Site icon

Hidup dalam Waktu Tuhan

Hidup dalam Waktu Tuhan (Pengkhotbah 3:1-15)

oleh: Vincent Tanzil

 

3:1 Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. 3:2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; 3:3 ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; 3:4 ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; 3:5 ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; 3:6 ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; 3:7 ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; 3:8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai. 3:9 Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah? 3:10 Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya. 3:11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. 3:12 Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. 3:13 Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah. 3:14 Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia. 3:15 Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu.

 

Ada seseorang yang hendak pergi berenang.  Dia sudah menyiapkan segala sesuatunya, pakaian ganti, kacamata renang, pelampung, hingga tabung oksigen apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.  Semua perencanaannya komplit dan tidak ada cacat cela.  Namun, ia pergi berenang ketika kolam renang sedang dibersihkan.  Tentu saja dia tidak bisa masuk!  Tidak peduli apakah ia mau berdebat panjang lebar dengan petugas kolam renang bahwa persiapannya sudah sangat mapan, memang tidak ada kolam renang untuk berenang!   Kita menyadari bahwa waktu yang tepat merupakan hal yang esensial dalam kehidupan.  Betapapun baiknya perencanaan dan persiapan kita, namun apabila dilangsungkan pada waktu yang tidak tepat tentu akan berbuah sebaliknya.

Masih ada banyak contoh lainnya, baik dalam kehidupan berkeluarga maupun dalam kehidupan berbisnis dan bekerja.  Tetapi poinnya jelas, perencanaan yang tepat perlu dibarengi dengan waktu yang tepat pula.  Bukankah demikian yang disebut sebagai hikmat?  Persediaan dan perencanaan yang tepat harus dibarengi dengan penggunaan pada waktu yang tepat pula.  Pertanyaannya adalah, bagaimana mengetahui waktu yang tepat?  Tidak jarang kita terkecoh dengan fenomena yang terjadi sehingga kita mengambil keputusan pada waktu yang tidak tepat.  Lantas, apa yang bisa dipegang dalam kehidupan ini?  Apakah mungkin mengetahui waktu yang tepat tersebut?  Itulah yang mau kita pelajari dari Pengkhotbah pada hari ini.

 

Segala Sesuatu Ada Waktunya

Pengkhotbah bukan seorang yang asing bagi kita.  Minimal kita sudah mendengarkannya dikhotbahkan selama beberapa kali bulan-bulan ini.  Ada banyak perdebatan mengenai siapakah orang ini sebenarnya, ada yang mengatakan dia Salomo, ada yang mengatakan dia orang lain yang sekadar mengarang kisah hikmat.  Sebenarnya tidak terlalu penting mengetahui siapakah Pengkhotbah sebenarnya.  Satu hal yang jelas, ia menyebut dirinya sendiri sebagai Pengkhotbah dari ayat 1. Ia adalah seorang guru hikmat dan ia berusaha untuk menyelidiki segala sesuatu yang terjadi di dunia ini.

Persoalan waktu yang tepat adalah apa yang juga dipikirkan oleh Pengkhotbah.  Pada masa itu, serupa dengan masa kini, waktu yang tepat merupakan hal yang penting untuk dimiliki.  Seperti yang dikatakan Amsal 15:23b “alangkah baiknya  perkataan yang tepat pada waktunya!”  Ayat 1-8 merupakan sebuah puisi yang menarik sekali untuk diperhatikan.  Puisi ini berupa kontras antara dua hal yang bertentangan, namun untuk masing-masing ada waktunya.  Ada waktu untuk lahir dan ada juga waktu untuk meninggal.  Bahkan ada waktu untuk membunuh dan menyembuhkan; mengasihi dan membenci, waktu untuk perang dan waktu untuk damai.  Kita tentu menyadari bahwa hari-hari ini tidak seharusnya ada waktu untuk membunuh orang!  Tetapi pada masa PL membunuh yang dimaksud adalah membunuh dalam konteks hukum, yakni hukuman mati.  Peperangan dan perdamaian juga demikian.  Bagaimanapun kita memandangnya, perlu untuk dicatat bahwa puisi ini tidak bermaksud memberikan himbauan untuk dilakukan.  Apa yang tertera dalam puisi ini adalah semata untuk menggambarkan keseluruhan pengalaman kehidupan manusia.  Ada waktu yang tepat untuk melakukan ini dan ada waktu yang tepat untuk yang lain. Kita tidak sebaiknya menangis ketika sahabat kita melangsungkan pernikahannya, sebaliknya kita tidak seharusnya tertawa terbahak-bahak ketika saudara kita meninggal dunia.  Kita tidak sepatutnya menari ketika upacara bendera, demikian pula kita berdiri tegak dan hormat ketika ada di kebaktian.  Juga tidak tepat untuk bergadang ketika berada di rumah dan tidur ketika berada di kebaktian!

Sampai sini tentu kita bisa mengamininya.  Kita semua bisa memahami bahwa segala sesuatu perlu memiliki waktu yang tepat.  Tetapi Pengkhotbah tidak berhenti sekadar menyampaikan kepentingan adanya waktu yang tepat.

Ayat 11 merupakan ayat yang sering dikutip orang, terutama apabila ada rencana yang tidak berjalan semestinya.  Misalnya ada yang tidak naik kelas, dikatakan “segala sesuatu indah pada waktunya” (padahal yang tidak naik tentu tidak merasakan hal demikian!  Enak saja yang mengutipnya).  Tetapi kata “indah” di sini sebenarnya lebih baik diterjemahkan “tepat” atau “pantas” (appropriate).  Maksudnya, Allah sendirilah yang menetapkan segala sesuatu itu tepat atau tidak pada waktunya.  Di ayat 14-15 Pengkhotbah melihat sekali lagi bahwa apa yang dilakukan Allah sudah tetap untuk selama-Nya; tidak bisa ditambah atau dikurangi.  Dikatakan juga bahwa “yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu.”  Ini semakin menegaskan bahwa segala sesuatu yang sudah terjadi dan akan terjadi sudah dirancangkan Alah sebelumnya.  Lantas apakah ini merupakan hal yang baik?  Tidak bagi Pengkhotbah.  Ia menjadi frustrasi dengan semuanya ini.  Kenyataan bahwa Allah sudah menetapkan segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak memberikan penghiburan bagi dia, malah ia menyebutnya sebagai “kesia-siaan” kata yang favorit bagi Pengkhotbah.  Mengapa demikian?  Coba kita bayangkan.

Pernahkah kita mengupayakan suatu hal dengan demikian sulit, namun hasil akhirnya berbeda sedemikian rupa dengan apa yang kita harapkan?

Kita sudah bersiap-siap untuk bepergian pada hari itu, apa mau dikata bannya gembos di tengah jalan.  Akibatnya kita terlambat atau bahkan batal pergi ke tempat itu.  Atau kita sudah memprediksi keuntungan dari bisnis kita pada bulan-bulan ini, tiba-tiba saja banjir melanda segala stok barang yang sudah siap kita jual.  Papa saya dahulu punya bisnis yang cukup besar, namun ketika krisis moneter semuanya amblas dalam waktu yang sangat singkat.  Pertanyaannya adalah: untuk apa merencanakan dengan sedemikian rupa kalau begitu?  Seseorang bekerja hingga kaya, namun penerusnya yang bodoh menghabiskan segala kekayaannya dalam waktu sekejap.  Tidak heran Pengkhotbah bertanya “Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?”  Segala usaha tersebut akan percuma apabila Allah tidak menghendakinya, sebab apa yang sudah direncanakan Allah tidak dapat diubah-ubah lagi.

Yang lebih membuat frustrasi Pengkhotbah adalah bahwa Allah memberikan “kekekalan” dalam hati manusia.  Kekekalan yang dimaksud di sini adalah suatu kerinduan yang besar untuk mengenali apa yang menjadi rencana Allah di balik semua hal yang terjadi.  “Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir!”  Siapa sih yang tidak penasaran dengan masa depan kita; siapa sih yang tidak ingin tahu siapa pasangan hidupnya; bagaimana bisnis masa depannya; bagaimana kehidupannya setelah ini—semuanya itu disebabkan oleh kekekalan dalam hati manusia tersebut.  Bagi Pengkhotbah, hal ini semakin menimbulkan frustrasi.  Ada keinginan untuk mengetahui segala sesuatu di dalam rencana Allah namun mustahil.  Tidakkah itu yang sering kita alami juga?  Apabila kita baru saja tertimpa musibah atau semacamnya, kita seringkali bertanya “mengapa?”  Tapi apakah Tuhan menjawab?  Tidak.  Ayub yang sudah menderita sedemikian rupa pun terus bertanya kepada Allah apakah yang menjadi kesalahannya.  Apa jawab Allah?  Tidak ada.  Allah malah balik bertanya kepada Ayub dengan serangkaian pertanyaan yang menunjukkan kuasa dan hikmat-Nya yang tidak terselami.  Itulah sebabnya Pengkhotbah menyimpulkan bahwa “Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia” (14).  Pada akhirnya kita harus dengan tegar menyatakan bahwa Allah adalah Allah dan kita bukanlah Allah.  Tidak sanggup kita memahami apa yang dilakukan-Nya di dunia ini.

 

Carpe Diem, Nikmati Hari Ini

Apa solusinya?  Pengkhotbah menawarkan carpe diem atau apa yang disebut sebagai ajakan untuk hidup untuk hari ini tanpa memikirkan masa depan.  Ia menyatakan “tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.  Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.”  Apabila segala sesuatu sudah ditentukan Allah, maka apalah gunanya memusingkan masa depan kita?  Live for the present! Hiduplah untuk hari ini saja!  Memang ini terdengar seperti seruan orang putus asa atau desperate, tapi bukankah ini memang implikasi logis dari kenyataan yang diutarakan Pengkhotbah?  Selain dari pada itu, takutlah akan Allah, karena hanya Dialah yang mengetahui dan mengontrol masa depan.

Tetapi sekarang ini kita hidup dalam masa Perjanjian Baru di mana Allah telah menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus.

Bukan berarti kita sudah bisa memahami masa depan atau menyelesaikan permasalahan sang Pengkhotbah di sini, namun oleh sebab kebangkitan, Paulus dengan berani menyatakan bahwa “jerih payahmu tidak sia-sia” (1 Kor. 15:58).  Mengapa bisa tidak sia-sia?  Sebab Kristus sudah bangkit dari antara orang mati.  Kebangkitan-Nya bukan sekadar kebangkitan spiritual, namun kebangkitan tubuh.  Kristus tidak tetap mati, namun bangkit.  Artinya pengharapan kita sudah jelas, maut telah dikalahkan!  Langit dan bumi yang baru sudah ada di depan kita.  Allah akan memperbaharui segalanya menjadi baru.  Karena itulah semua yang kita kerjakan pada hari ini tidaklah sia-sia.  Tentu saja semuanya ini kita lakukan dengan kesadaran bahwa kita tetap tidak tahu masa depan kita secara mendetail, namun dengan arahan kisah besar Tuhan di Alkitab, maka kita bisa melihat bahwa Allah akan membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya.  Ada makna dari segala yang Tuhan rencanakan dalam kehidupan ini!  Benar bahwa kita harus menikmati kehidupan dan kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada kita; benar bahwa kita harus takut kepada Tuhan yang begitu berkuasa dan agung; namun kita menyadari dari penyataan Allah dalam Yesus Kristus bahwa Allah sedang memperbaharui segala ciptaan menjadi baru melalui karya penebusan-Nya di atas kayu salib.  Karena itulah tidak hanya menikmati hidup dan takut akan Allah, kita mengasihi Dia dan melayani Dia dengan sepenuh-penuhnya—dengan segala yang kita miliki;  sebab, sekali lagi, “di dalam persekutuan dengan Tuhan, jerih payahmu tidak sia-sia.”

Bagaimanakah kita memandang kehidupan kita pada masa kini?  Apakah dengan keyakinan bahwa segala sesuatunya bisa kita prediksi dengan mudah?

Firman Tuhan hari ini mengingatkan kita bahwa kita tidak tahu apa yang akan terjadi karena itu kita perlu takut akan Tuhan.

Terkadang beberapa orang terlalu kebingungan mengenai masa depan mereka, namun di dalam Tuhan yang sudah memaparkan masa depan dunia ini dalam wahyu-Nya di Alkitab kita bisa dengan tenang menikmati kehidupan kita yang hari ini, sebab kita tahu bahwa hari esok pun berada di tangan Tuhan.

Kesadaran bahwa Yesus sudah bangkit membuat kita hidup bukan tanpa tujuan, namun dengan gambaran besar bahwa kita sudah berada di dalam satu kisah besar sejarah Allah.  Karena itu peran kita, seperti apa pun, menjadi berarti di hadapan-Nya.

Segala sesuatu ada waktunya dan waktu itu berada di tangan Tuhan yang berdaulat penuh.  Karena itu kita takut akan Dia dan menikmati hari-hari kita.  Namun perspektif kebangkitan menolong kita untuk melihat melampaui Pengkhotbah, bahwa apa yang kita kerjakan hari ini tidaklah sia-sia.  Takut akan Dia, menikmati kesenangan dan pekerjaan, serta menemukan makna kehidupan di dalam karya kebangkitan Yesus Kristus, itulah panggilan hidup kita.

Maukah kita meletakkan segala upaya kita yang fana untuk mengetahui masa depan ke tangan Tuhan dan melakukan yang terbaik yang kita tahu?

Kiranya Allah berkenan terhadap hamba-hamba yang takut kepada-Nya serta memberikan kekuatan, serta hikmat untuk menjalani hidup yang seturut dengan firman-Nya.

 

Exit mobile version