Site icon

Karakteristik Penatalayanan Tuhan

Karakteristik Penatalayan Tuhan

1 Korintus 4:1-2

oleh: Jenny Wongka †

LAI menerjemahkan ayat di atas demikian, “Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai.” Sedangkan, dalam Alkitab versi Inggris NRSV, saya akan kutip terjemahan harfiahnya, “Pikirkanlah tentang diri kita ini sebagai pelayan-pelayan Kristus (Servants of Christ) dan sebagai para penatalayan (Stewards of God’s misteries) misteri Allah. Lebih jauh lagi, yang dituntut dari para penatalayan ini ialah kesetiaan (trustworthy).”

Pada umumnya manusia, termasuk orang Kristen tentunya, gemar mengevaluasi orang lain. Berbagai macam kriteria kita pakai untuk menilai orang lain, baik itu cara berpakaian, perilaku, tingkah laku teman kuliah, kolega, dan seterusnya. Kegemaran mengevaluasi ini juga sering kita lakukan terhadap diri pendeta, penginjil di gereja kita. Dalam konteks di kampus, kita sangat sering tidak hanya mengevaluasi teman-teman kita, tetapi juga para dosen, bukan? Siapakah di antara mereka yang paling friendly, ramah, berpengaruh, yang pelayanan mimbarnya menarik dan mantap? Dosen atau mungkin mahasiswa yang manakah yang paling giat melayani, bahkan tanpa pamrih, dan seterusnya?

Jangan salah mengerti, saya tidak bermaksud untuk menafikan semua bentuk pemberian evaluasi di atas. Sebaliknya, betapa indah dan eloknya bila kita mengevaluasi secara konstruktif, bahkan dengan segala ketulusan hati untuk membangun diri sendiri atau orang lain. Sejujurnya, kita sering kali terjebak dengan pemikiran bahwa “saya tidak mau ambil pusing dengan evaluasi orang lain atas diri saya! Saya hanya mau Tuhanlah yang mengevaluasi pribadi dan pelayanan saya”. Padahal sesungguhnya evaluasi diri penting untuk setiap kita karena sebagai rohaniwan kita sangat sering berpatokan pada pemikiran: Just make the work done! Kesungguhan hati dalam komitmen dan dedikasi kita sudah bergeser dari kesungguhan yang mula-mula. Melalui terang firman Tuhan, marilah kita mengevaluasi diri. Sebagai penatalayan Tuhan, marilah kita simak bersama karakteristik seorang penatalayan sejati, sebagai butir acuan untuk evaluasi diri.

Identitas Penatalayan Tuhan (1 Korintus 4:1)

Kata “kami” dalam ayat 1 ini bisa kita kaitkan dengan ayat 3:22, yang mengindikasikan bahwa kata itu mengacu pada diri Paulus, Apolos dan Kefas. Kata “kami” itu juga bisa diperluas mencakup semua rekan kerja mereka. Dalam ungkapan “Demikianlah hendaknya orang memandang kami”, siapakah “orang” yang dimaksud di sini? Bagi saya, dalam konteks yang sempit, kata itu bisa mengacu pada orang Kristen. Namun dalam konteks yang luas, kata itu bisa mencakup semua orang bukan Kristen. Singkatnya, penatalayan Tuhan selalu siap dipandang dan dinilai orang. Sebagai orang percaya, kita adalah para lakon yang bermain di atas panggung sandiwara, yang ditonton oleh semua orang. Bila ingin berhasil memainkan peran kita dengan baik, langkah pertama yang patut kita lakukan adalah mengenal identitas kita masing-masing.

(1) Identitas Pertama Adalah sebagai Pelayan Kristus (4:1a)

Yang menarik bagi saya, dalam bahasa Yunani ada dua kata untuk hamba, yaitu uperethj dan douloj. Dalam ayat ini kata huperetes yang dipakai memiliki makna harfiah: under powers. Kata ini menunjukkan tingkatan terendah di antara para budak, atau dipakai untuk menunjukkan suatu tingkatan yang paling bawah dari sebuah kapal. Dengan kata lain, ia adalah orang yang terhina di antara para budak.

Pertama dan terutama dari semuanya, seorang penatalayan Tuhan tidak lain adalah pelayan Kristus. Artinya, dalam segala hal ia berada di bawah dan patuh kepada Kristus (he is under powers of Christ). Ia dipanggil untuk melayani orang lain demi Kristus. Namun, seseorang tidak akan mampu melayani orang lain jika belum melayani Kristus dengan benar. Ia tidak akan mampu melayani Kristus dengan baik bila belum sungguh-sungguh mengenal identitas dirinya dengan benar, yakni bahwa ia hanya sebagai seorang pelayan yang hina dina.

Paulus adalah seorang rasul, namun ia menilai dirinya sendiri sebagai huperetes, seorang pelayan yang hina milik sang majikan; bahkan ia ingin orang lain menilai dirinya seperti itu. Derajat umum seorang penatalayan menempati status terendah. Ia adalah pekerja kasar, penerima hukuman yang paling kejam, dan jarang dihargai orang. Tidak heran bila Paulus menulis, “Apakah Apolos? Apakah Paulus? Pelayan-pelayan Tuhan yang olehnya kamu menjadi percaya, masing-masing menurut jalan yang diberikan Tuhan kepadanya” (3:5). Seorang penatalayan Tuhan dapat bermanfaat hanya bila Tuhan memberikan kesempatan dan urapan kuat kuasa-Nya. Dengan demikian, yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberikan pertumbuhan itu sendiri (3:7).

Identitas penatalayan juga disebutkan dalam Lukas 1:2 sebagai huperetes tou logou atau pelayan Firman, artinya: sebagai saksi mata yang meneruskan pengajaran dan pelayanan Yesus. Melayani Kristus adalah melayani Firman, yang merupakan penyataan kehendak Allah. Seorang penatalayan adalah seorang pelayan Kitab Suci. Fungsinya tidak lain adalah menaati perintah-perintah Allah yang diwahyukan di dalam firman-Nya.

Rasul Paulus kemudian melanjutkan, “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1 Korintus 9:16). Bagi Paulus, pemberitaan Injil bukan sebagai alasan untuk memegahkan diri atau meraih popularitas dan pujian orang. Ia melakukan tugas ini sebagai suatu tanggung jawab seperti apa yang sudah diperintahkan majikannya kepada dirinya (bdk. Lukas 17:10).

Dalam surat keduanya kepada jemaat Korintus, Paulus melukiskan keadaan para penatalayan Kristus yang sebenarnya. Penatalayan Tuhan diperhadapkan dengan berbagai kesulitan, kesesakan, tekanan, pukulan, kondisi dipenjarakan, kondisi kurang tidur, kerusuhan, dan kelaparan. Namun, bersamaan dengan semuanya itu, penatalayan Tuhan dilengkapi dengan kemurnian, kesabaran, kemurahan hati, kasih, pengetahuan, firman kebenaran, kuasa Allah, Roh Kudus, dan senjata kebenaran (2 Korintus 6:4-7). Penatalayan Tuhan sering muncul sebagai sebuah enigma (teka-teki) dan sebuah paradoksi, misalnya: “sebagai orang yang tidak dikenal namun terkenal, sebagai seorang yang nyaris mati namun sesungguhnya hidup, sebagai orang yang dihajar namun tidak mati, sebagai orang yang berdukacita namun senantiasa bersukacita, sebagai orang miskin namun memperkaya banyak orang, sebagai orang yang tidak bermilik sekalipun memiliki segala sesuatu” (2 Korintus 6:8-10).

Penatalayan Tuhan tidak dinilai berdasarkan penampilannya di hadapan orang lain. Pendapat orang bisa beraneka ragam, bahkan sering berubah-ubah, sehingga sulit dijadikan suatu patokan. Kepatuhan seorang penatalayan hanya kepada tuannya semata. Dalam hatinya hanya ada satu kerinduan, yakni menyukakan hati tuannya. Hal ini tampak jelas terlihat pada diri Paulus, yang terus-menerus melakukan apa yang dikehendaki Tuhan. Ia tahu dengan jelas bahwa ia dipanggil untuk memberitakan firman Allah (Kolose 1:25), menerima firman itu, dan meneruskannya kepada orang lain. Di dalam melakukan hal ini, ternyata Paulus didapati sebagai seorang penatalayan yang setia.

(2) Identitas Kedua Adalah Penatalayan yang Dipercayakan Rahasia Allah (4:1b)

Penatalayan Tuhan adalah hamba yang dipercayakan rahasia Allah. Dalam ayat ini kata Yunani kedua yang menunjukkan identitas pelayan adalah oikonomoj, yang secara harfiah berarti house manager atau pengatur rumah. Pengatur rumah adalah seorang yang ditempatkan pada posisi mengurus segala urusan rumah tangga. Ia bertugas untuk mengawasi harta benda majikannya, ladang dan kebun anggur, finansial, makanan, dan para budak lainnya atas nama majikannya.

Rasul Petrus mengungkapkan hal yang senada bahwa semua orang Kristen sebagai “pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (1 Petrus 4:10). Tugas ini luar biasa penting sebab ia adalah pengurus rumah Allah (Titus 1:7), apalagi ia juga dipercayakan rahasia Allah.

Kata rahasia atau musthrion yang dipakai dalam Perjanjian Baru menunjukkan adanya sesuatu yang tersembunyi dan yang hanya dapat diketahui oleh penyataan ilahi saja. Seorang hamba yang dipercayakan rahasia Allah, menerima penyataan firman Allah itu dan membagikannya kepada seluruh anggota keluarga. Saya tidak tahu apakah kita sanggup untuk berkata seperti Paulus kepada para penatua jemaat Efesus demikian, “Aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum maupun dalam perkumpulan-perkumpulan di rumah kamu; aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, … aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu” (Kisah Para Rasul 20:20-21,27). Patut kita sesalkan bahwa dewasa ini kita menemukan banyak orang Kristen yang memiliki gizi yang salah secara rohani. Alasannya, banyak pemberita Injil menyajikan bobot kebenaran Alkitab yang tidak seimbang. Apa yang diberitakan mungkin saja dari Kitab Suci, namun mereka tidak mengabarkan seluruh isi dan maksud Allah itu. Bahkan yang ironis, kelalaian menyingkapkan rahasia Allah ini justru mengakibatkan penyesatan.

Minggu lalu, saya membaca kembali sebuah wawancara atas diri seorang pendeta terkenal dalam sebuah majalah. Pendeta itu berkata, “Saya kira mimbar tidak lagi sebagai wadah untuk memberikan pengajaran, melainkan hanya sebagai instrumen terapi rohani. Saya tidak lagi menyampaikan khotbah, tetapi menciptakan berbagai pengalaman praktis. Saya tidak mempunyai waktu untuk menulis teologi sistematika, dengan maksud untuk memberikan dasar teologis yang solid kepada jemaat. Apa yang intuitif yang saya ketahui dan imani, itulah yang benar. Tiap khotbah harus dimulai dari kata hati. Kalian tidak pernah mendengar khotbah saya tentang virgin birth Yesus atau kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali, bukan? Kita boleh menarik satu kesimpulan, apakah saya cukup bijak untuk mengimani virgin birth Yesus atau kebenaran tentang kedatangan Kristus yang kedua kali dalam masyarakat modern ini? Baik secara tertulis maupun secara verbal, di depan umum saya tidak menyangkali virgin birth Yesus, kebangkitan Yesus secara fisik, atau kedatangan-Nya yang kedua kali. Bagi saya, ketika saya tidak dapat memahami sesuatu hal, maka saya juga tidak mau berurusan dengan hal itu.”

Bagaimana kesan kita tentang pernyataan pendeta di atas? Bagi saya, sikap penatalayan semacam ini sangat keliru. Orang-orang yang mendengarkannya tidak akan pernah mendengar apa yang Tuhan sabdakan. Firman Tuhan berbicara secara eksplisit tentang virgin birth Yesus dan kedatangan-Nya yang kedua kali. Penatalayan Tuhan tidak dituntut pada pengertian penuh atas seluruh kebenaran itu, tetapi pada kesetiaannya untuk memberitakan kebenaran-kebenaran itu. Bila tidak, maka ia akan menjadi sama seperti “orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah” (2 Korintus 2:17), yang menjual Injil dan Alkitab murahan, yaitu dengan meniadakan kebenaran-kebenaran yang esensial dari Alkitab.

“Karena itu,” demikian Paulus berkata, “kami tidak tawar hati. Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah” (2 Korintus 4:1-2). Pemberita Injil atau guru, penatalayan firman yang meniadakan teks Kitab Suci, atau menyalahgunakannya sebagai pendukung ide pribadi, sesungguhnya telah menyelewengkan firman Allah. Hal ini sudah dilakukan oleh para pengajar sesat, yang mencoba untuk mendukung doktrin mereka yang keliru dengan memakai teks Alkitab namun dikutip di luar konteks, bahkan sudah mengalihtafsirkan bagian itu. Satu hal yang perlu kita camkan bersama adalah “Alkitab bukanlah sebuah repository (gudang) teks-teks pendukung bagi pendapat pribadi. Sebaliknya, Alkitab adalah kebenaran Allah, yang harus diberitakan oleh para penatalayan, sebagai tugas mereka. Perhatian seorang penatalayan bukan untuk menyenangkan telinga para pendengarnya, atau menguraikan pandangan pribadinya, melainkan menjadi “seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (2 Timotius 2:15).

Seorang penatalayan yang dipercayakan rahasia Allah memelajari firman untuk dirinya sendiri dan bersedia untuk mengajarkannya kepada orang lain. Tetapi, bila ia tidak sanggup menangani secara akurat apa yang diketahuinya melalui penyingkapan rahasia Tuhan atas dirinya, ditambah lagi bila ia tidak jujur dalam memberitakan rahasia itu, maka akan sangat fatal akibatnya. Jemaat yang berada di bawah bimbingan penatalayan seperti ini akan sama seperti perkataan Milton yang begitu berkesan, “The hungry sheep look up, and are not fed.

Tuntutan bagi Penatalayan Tuhan (1 Korintus 4:2)

Kualitas tertinggi bagi seorang penatalayan Tuhan adalah kesetiaan (trustworthy), dapat dipercaya. Majikannya memercayakan seluruh isi keluarga dan milik kepunyaannya kepadanya, dan tanpa kesetiaan ia akan menghancurkan keduanya. Tuhan menuntut penatalayan-Nya menjadi seorang yang dapat dipercaya. Seorang yang secara konsisten patuh pada firman-Nya, tak tergoyahkan dalam komitmennya kepada Tuhan. Atas diri para penatalayan-Nya, Tuhan sesungguhnya tidak menuntut kebrilianan, kepandaian, kekreatifan, ataupun popularitas. Tuhan bisa saja memakai penatalayan yang memiliki semua kualitas di atas, namun yang mutlak harus ada hanyalah trustworthiness.

Paulus mengutus Timotius untuk melayani jemaat Korintus sebab anak muda ini dikasihi dan setia (1 Korintus 4:17). Paulus tahu bahwa dengan setia Timotius mengabarkan dan mengajarkan firman Allah. Ia tidak mengkhawatirkan adanya kemungkinan penyelewengan Timotius di dalam menyampaikan firman Allah. Ia setia pada panggilan Allah sama seperti Paulus sendiri “sebagai seorang yang dapat dipercayai karena rahmat yang diterimanya dari Allah” (7:25). Dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Paulus menyebutkan dua rekan kerjanya yang lain, yang dinilai unggul dalam trustworthiness ini. Epafras adalah “kawan pelayan yang kami kasihi” dan “yang bagi kamu adalah pelayan Kristus yang setia” (Kolose 1:7).  Tikhikus adalah “saudara kita yang kekasih, hamba yang setia dan kawan pelayan dalam Tuhan” (Kolose 4:7).

Kesetiaan adalah karakter yang harus ada di dalam diri seorang penatalayan, karena seorang penatalayan yang tidak setia atau yang tidak dapat dipercaya sesungguhnya sangat berlawanan dengan statusnya. “Siapakah hamba yang setia dan bijaksana, yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya untuk memberikan mereka makanan pada waktunya?” Yesus menjawab, “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang” (Matius 24:45-46). Tatkala Tuhan datang kembali, yang menjadi tuntutan mutlak dan satu-satunya dari Tuhan untuk menghakimi para penatalayan-Nya adalah KESETIAAN. Adakah mereka sungguh-sungguh menjalankan perintah-Nya dengan setia?

Allah memberikan firman-Nya, Roh-Nya, karunia-Nya, dan kuat kuasa-Nya. Semua hal yang sanggup dipasok oleh seorang penatalayan adalah kesetiaannya di dalam memakai sumber-sumber daya pemberian Tuhan atas dirinya. Apa yang dituntut dari penatalayan seperti kita ini sederhana saja: menerima firman Allah itu serta mengenyangkan umat-Nya dengan penuh kesetiaan, dan menyalurkan rahasia Allah, memberitakan kebenaran-kebenaran tersembunyi yang sudah disingkapkan-Nya. Maka dari itu, dalam hal ini sama sekali tidak ada kemuliaan pribadi; tidak ada ranking seorang yang melintasi ranking orang lain. Yang terbaik dan yang menjadi tuntutan dasar bagi seorang penatalayan sejati hanyalah KESETIAAN. Melalui kesetiaan ini pula, dirinya bahkan orang lain yang dilayaninya akan mengenal bahwa ia adalah seorang penatalayan yang diurapi Tuhan.

KESIMPULAN

A Teacher’s reconsecration mengisahkan tentang seorang kepala perawat rumah sakit yang merawat seorang anak lelaki berusia 9 tahun yang sekarat. Dengan pengamatan dan pengetahuan medisnya, ia jelas tahu bahwa anak ini sudah tidak dapat tertolong lagi. Ia melangkah ringan dan dengan suara lembut bertanya apakah anak ini ingin menyampaikan berita kepada ibunya (yang saat itu untuk sementara meninggalkan dia, pulang ke rumah untuk mengasuh adiknya yang masih bayi). “Ya,” jawab si anak. “Beritahukan kepada Mama bahwa saya meninggal dalam kondisi yang penuh bahagia sebagai anak Tuhan Yesus.” “Masih ada hal yang lain lagi, Nak?” “Ya,” sahutnya. “Tolong tuliskan sepucuk surat kepada guru Sekolah Minggu saya bahwa saya meninggal sebagai seorang Kristen, dan saya tidak pernah melupakan pengajaran Sekolah Minggu yang diberikannya kepada saya.” Beberapa menit setelah itu, anak ini meninggal dengan tenang. Dua minggu kemudian, sang kepala perawat rumah sakit menerima sepucuk surat dari guru Sekolah Minggu anak itu, yang berbunyi demikian, “Allah telah menaruh belas kasihan kepadaku. Tepat hari ini sudah dua bulan lamanya saya berhenti mengajar Sekolah Minggu sebab saya merasa bahwa pengajaran saya tidak menghasilkan apa-apa. Dengan penuh frustrasi saya telah menyerahkan semua materi pengajaran dan alat peraga kepada kepala sekolah Sekolah Minggu. Setiba di rumah, surat Anda tiba dengan berita dari anak Sekolah Minggu saya. Saya tersentak dan sadar bahwa setidaknya ada seorang anak lelaki yang mengatakan ia menjadi percaya melalui pengajaran saya. Oh, saya tidak menyadari bahwa sesungguhnya Tuhan telah memakai saya sebagai alat untuk memenangkan jiwa orang. Saya akan segera kembali kepada kepala Sekolah Minggu untuk meneruskan pelayanan Sekolah Minggu demi nama Kristus sendiri, dan saya akan menjalankan pelayanan ini dengan setia hingga akhir.”

Saya tidak tahu persis kondisi Anda dalam semangat pelayanan Anda saat ini. Saya tidak tahu bagaimana kesetiaan Anda dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diserahkan pada Anda. Terlepas dari kegagalan dan kelalaian kita dalam menjalankan tugas pelayanan. Dengan panjang sabar dan kemurahan Tuhan, di atas pundak kita masih dipercayakan tanggung jawab untuk pelayanan. Adakah kita bisa diandalkan oleh Tuhan sebagai seorang penatalayan yang setia, yang dapat dipercaya? Adakah orang-orang yang kita layani bisa mengandalkan kita sebagai penatalayan sejati? Jika ya, jelaslah ini pertanda bahwa kita adalah seorang penatalayan yang diurapi Tuhan, yang diasingkan dan dipakai Tuhan sebagai bejana penyalur berkat-Nya bagi orang lain di pos-pos pelayanan kita, dan di mana saja!

Exit mobile version