Kemuliaan Allah, Apa Artinya? (Mazmur 8)
oleh : Pdt. Joas Adiprasetya
Yudaisme dan Kekristenan adalah dua agama yang penganutnya suka menyanyi, singing religions. Dalam kesempatan apapun mereka bernyanyi. Ketika seorang bayi lahir, mereka bernyanyi, ketika dibaptis mereka bernyanyi, ketika di kamar mandi, mereka bernyanyi. Ketika sakit bernyanyi bahkan ketika mati bernyanyi [tentu bukan yang mati yang bernyanyi]. Dituliskan bahkan dalam sebuah buku sejarah Romawi, bahwa para pengikut Kristus menyanyi bersama ketika memasuki amphitheater Romawi di mana singa-singa lapar menanti mereka.
Dalam setiap peristiwa hidup orang percaya, selalu saja ada nyanyian yang mengiring. Karena itu penting bagi kita menghargai buku nyanyian kita. Keunggulan KJ-NKB adalah bahwa tema-tema yang dimilikinya kaya dan beragam. Tidak hanya sekedar memuji, namun juga keluhan dan pergumulan, sukacita dan harapan, tapi seluruh suasana hati dan situasi hidup.
Mazmur 8 ini diawali dan diakhiri dengan puji-pujian yang sama: Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya namaMu di seluruh bumi.” Kita terlalu biasa mendengar orang berkata, “demi kemuliaan Allah.” Doa-doa kita juga kerap latah memakai kalimat, “…demi kemuliaan Allah.” Apa artinya “demi kemuliaan Allah?”
Secara tradisional, kita memahami bahwa “demi kemuliaan Allah” (soli Deo gloriam) mengajarkan kita untuk memusatkan hidup kita pada Allah. Nyanyian kita selalu God-centered dan bukan human-centered.
- Sebuah gereja cari sumbangan. Si pendeta dengan PS berdiri dan berkata, Siapa yang memberi sumbangan terbanyak akan mendapatkan tiga hymns. Akhirnya, setelah dihitung, diketahui bahwa sumbangan terbesar 2.000 USD atas nama Mrs. Albertson . Si pendeta meminta si penyumbang maju. Majulah seorang ibu berusia 80 tahun, Mrs. Albertson, ke depan dan si pendeta mengucapkan terima kasih. “Nah, Sekarang Ibu bisa memilih tiga hymns.” Paduan Suara sudah siap menyanyikan tiga hymns yang segera dipesan Mrs. Albertson. Dengan muka cerah, Mrs. Albertson berkata, “Three hims? Wow … Wonderful!” Lalu dengan penuh antusias si ibu tua ini menunjuk tiga pria ganteng dan berkata, “I will take him, him and him.”
Saudara-saudara, “memuliakan Allah” selalu God-centered, bukan human-centered. Akan tetapi, ada bahaya dan masalah lain dengan kata-kata “demi kemuliaan Allah.” Izinkan saya mengajukan dua kritik lain terhadap kelatahan kita memakai istilah ini.
- 1. Kita terlalu biasa memakai kalimat “demi kemuliaan Tuhan” dalam doa, nyanyian dan ibadah kita. Kita membatasi arti “kemuliaan Tuhan” hanya dalam ibadah-ibadah kita. Seolah-olah hanya dengan doa, nyanyian dan ibadah kita bisa memuliakan Tuhan. Soalnya justru pada kehidupan setiap hari. Apakah masih ada artinya “kemuliaan Tuhan” ketika ibu memasak, anak bersekolah dan bapak bekerja?
- 2. Kita sering punya salah konsep bahwa kemuliaan Tuhan berarti bahwa Tuhan bukan hanya suka dengan puji-pujian kita, namun juga membutuhkan puji-pujian kita. Hati-hati, saudara, jangan-jangan, tanpa sadar, kita memandang Tuhan sebagai Allah yang haus pujian, butuh pujian, ingin dipuji. Seorang berkata, konsep kemuliaan Allah dalam kekristenan sudah menjadikan Allah sebagai Tuhan yang egosentris. Seolah-olah Tuhan memakai manusia untuk memuliakan diriNya. Allah tak butuh itu. Martin Luther pernah berkata, “Puji-pujian berguna untuk orang percaya, bukan untuk Tuhan.”
Kita memuji, Tuhan baru datang. Pujian menjadi sejenis suapan. Ini tercermin dalam “liturgi” banyak persekutuan kita.
Saya akan pakai ilustrasi ini. Pak Anton seorang yang kaya dan baik hati. Ia melihat Lusi tidak memiliki biaya untuk meneruskan kuliah. Lalu Pak Anton membiayainya. Setelah selesai, Lusi bekerja dan sukses. Apakah Lusi “wajib” dan “harus” memuji Pak Anton? Ya! Tapi apakah itu berarti Pak Anton membantu Lusi karena ingin dipuji? Tentu saja tidak. Itu kesimpulan yang tidak logis, salah dari segi hukum logika.
Allah itu baik dan kita memuliakan Tuhan karena kebaikanNya. Tapi tidak berarti Allah baik supaya kita memuliakan Dia. Itu salah besar. Allah sungguh sempurna, hingga tak membutuhkankan segala pujian kita. Tanpa puji-pujian kita, Allah pada hakikatNya memang sudah mulia. Kemuliaan Allah tidak bertambah hanya karena pujian kita.
Kalau begitu apa arti paling hakiki dari kalimat “demi kemuliaan Allah?” Mari kita lihat Mazmur 8 ini. Kalimat “betapa mulianya namaMu di seluruh bumi” ada pada ayat 2 dan 10. Dengan kata lain, Mazmur 8 adalah “Mazmur kemuliaan Allah.” Lalu apa artinya “kemuliaan Allah” itu? Rupanya kita baru bisa memahaminya dengan mengaitkannya pada bagian di antara kedua ayat ini … yaitu ayat 3-9. Yang menarik, tujuh ayat tersebut tidak lagi bicara secara langsung tentang memuliakan Allah namun berbicara tentang siapa manusia sebenarnya. Menarik bukan … “kemuliaan Allah dijelaskan dengan cara menunjukkan siapa manusia.”
Pada intinya ada dua bagian penting.
Bagian 1, ayat 3-5, menceritakan keberadaan manusia yang demikian kecil dan hina. Dibanding semesta yang begitu luas, manusia sungguh tak ada artinya. Saya sering memikirkan bahwa semesta ini dibanding galaksi bimasakti kita seperti ruangan gereja ini dibanding sebuah titik kecil. Padahal, galaksi bima sakti kita dibanding dengan bumi kita ini sama seperti ruangan ini dibanding sebuah titik kecil. Padahal bumi kita ini dibanding Joas sama seperti ruangan ini dibanding sebuah titik kecil jadi, semesta ini, dibandingkan manusia, maka manusia ini titiknya titiknya titiknya semesta. Sungguh-sungguh kecil dan hina. Jadi, ayat 3-5 ini ingin mengajar manusia untuk tahu diri. Tahu dirilah kalau kita ini lemah, dibanding semua semesta ini, apalagi dibandingkan Pencipta semesta ini.
Untuk menunjukkan betapa besarnya Allah dan betapa kecilnya manusia, pemazmur tidak membutuhkan para bijak-bestari atau para ilmuwan. Ayat 3 memaparkan bahwa cukup “mulut bayi dan anak-anak” untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan membungkam orang-orang yang tidak mempercayai Allah
Bagian 2, yaitu ayat 6-9, berbicara lain. Meskipun manusia kecil dan hina, Tuhan mengingatnya dan mengasihinya. Jadi, kita diajak untuk punya harga diri. Milikilah harga diri, bahwa kita ini, meskipun hina, sungguh dihargai Allah.
Apa yang bisa kita pelajari di sini?
[pelajaran pertama]
Perpaduan antara sikap tahu diri dan harga diri inilah yang membuat manusia bisa melihat diri sebagai gambar dan rupa Allah, citra Allah.
- Kalau cuma tahu diri (tahu kita ini lemah), tanpa diimbangi dengan sikap harga diri (tahu bahwa kita ini dihargai Allah), maka manusia akan selalu minder, tak bisa menghargai hidup ini. Hasilnya: rendah diri. RUMUS: “Tahu Diri – Harga Diri = Rendah diri.” Betapa banyak manusia yang rendah diri karena tidak mampu melihat betapa berharganya hidupnya.
- Sebaliknya sikap harga diri tanpa diimbangi sikap tahu diri, hanya membuat manusia sombong dan congkak. Dan karena itu bisa dengan mudah meremehkan sesama. RUMUS: “Harga Diri – Tahu Diri = Tinggi Hati.”
Karena itu milikilah sikap yang balanced. Kita ini makhluk yang tak berarti, namun yang sekaligus dihargai dan dimuliakan oleh Allah. Ketika Anda hidup serampangan, merusak kehidupan Anda, merendahkan martabat Anda. Anda sedang berurusan dengan Allah. Dengan kata lain, perpaduan sikap tahu diri dan bangga diri ini mengajar manusia untuk melihat diri sebagai manusia yang utuh dan benar-benar manusiawi.
[pelajaran kedua]
Berhati-hatilah dengan sikap kita terhadap sesama. Ketika Anda menghina sesama Anda, melecehkan mereka, merugikan mereka. Anda sedang berurusan dengan Allah, Pencipta sesama kita.
Kita sedang merendahkan kemuliaan Allah. Sebaliknya kita memuliakan Allah ketika memperlakukan manusia lain secara manusiawi. Saya ingin mengutip ucapan Ireneus pada abad pertama. Ia berkata: Gloria Dei, vivens Homo. Artinya: Allah dimuliakan ketika manusia hidup sebagai manusia. Maka kebalikannya, jika manusia tidak hidup sebagai manusia yang manusiawi, hidup sebagai gambar Allah, maka ia tidak memuliakan Allah.
Nah, sekarang semoga kita melihat arti paling mendasar dari “kemuliaan Allah.” Jika kita tidak berusaha untuk hidup sebagai manusia sejati, maka kita tidak memuliakan Allah. Atau, jika kita membuat sesama kita hidup tidak sebagai manusia, atau, kita membuat kehidupan sesama tidak manusiawi, kita tidak memuliakan Allah.
Allah tak butuh dimuliakan. Tapi, Allah setuju untuk dimuliakan, hanya jika mereka yang memuliakan Tuhan berani hidup manusiawi dan membuat sesamanya bisa manusiawi hidupnya.
Hati-hati dengan nyanyian pujian kita, yang penuh dengan kalimat “kemuliaan Allah.” NKB 6, 7, 16. KJ 2, 4, 5, 6, 7, 13 dsb. Kita akan lelah mendaftar lagu-lagu yang mengajak kita memuliakan Allah. Nyanyian-nyanyian itu bagus dan kita diminta menyanyikannya dengan penuh penghayatan. Namun nyanyian itu bisa juga menjadi sarana kita untuk meremehkan kemuliaan Allah, ketika, pada saat yang sama, kita memperlakukan orang lain semena-mena, kita merendahkan isteri dan anak kita. Atau kita sendiri hidup tidak sebagai manusia yang sebenarnya.
[pelajaran ketiga]
Kita malah bisa melihat Allah yang mulia itu di dalam diri manusia.
Itulah artinya ketika dalam Kejadian 2 dikatakan manusia itu gambar Allah? Betul, gambar Allah itu telah pudar, suram dan rusak karena dosa manusia, namun ia tak hilang. Anda dan saya adalah potret Allah.
Bahkan, Yesus secara lebih radikal melanjutkan konsep ini dengan menunjukkan bahwa Kristus hadir di dalam dan melalui sesama. Dua minggu lalu kita belajar tiga cara Allah dialami oleh manusia (God of great things, God of small things dan God of nothing). Minggu ini kita melihat cara keempat kita mengalami Allah dan Kristus, yaitu di dalam dan melalui sesama (in and through others). Kristus yang “menyamar” (incognito) dalam diri sesama.
Apa yang terkenal dari Mother Theresa bukan hanya pelayanannya yang tanpa pamrih pada orang miskin, kusta dan sekarat di Kalkuta, namun juga konsistensinya dalam menyambut orang lain, siapa pun dia, dengan penuh hormat. Setiap kali seseorang diperkenalkan kepadanya, Mother Theresa selalu membungkukkan badan dengan penuh hormat, seakan dia ingin berkata, “You are holy,” atau seperti nyanyian persekutuan kita, “I see Christ in You.”
Ini tidak berarti bahwa Kristus sekali lagi menjelma dalam diri manusia. Di dalam sejarah banyak kita jumpai orang yang mengaku diri sebagai Mesias, penjelmaan Kristus. Ini jelas keliru. Tetapi, Kristus dengan cara yang misterius bersedia ditemui dalam diri sesama kita. Kristus sendiri berkata dalam Matius 25, “
- Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.
Kemudian orang-orang yang disapa Yesus bingung dan bertanya, “Kapan kami berjumpa dengan-Mu dan memberi-Mu makan, minum, dan tumpangan?” Yesus menjawab apa?
… sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Saudara-saudara, kisah Matius 25 ini selalu menghantui pikiran saya. Kisah ini mengajar kita bahwa kita dihakimi kelak bukan hanya atas dasar iman kita pada Kristus tapi juga atas dasar bagaimana iman pada Kristus itu diterjemahkan ke dalam sikap “melayani Kristus di dalam hidup sesama.” Bukankah setiap kali kita bersikap terhadap sesama, kita lantas harus sungguh-sungguh berhati-hati dan sadar, bahwa kita sedang berhadapan dengan Kristus sendiri.
Dan yang menarik, Yesus berkata, “salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina.” Pertama, Yesus menyapa “Saudara-Ku.” Dia menganggap orang-orang yang dianggap bukan saudara apalagi bukan manusia, sebagai Saudara-Ku. Kedua, Yesus menyebut “yang paling hina.” Kalau jemaat ini digambarkan seperti sebuah lingkaran, kita terbiasa membuat lingkaran-lingkaran konsentris. Yang paling dekat dengan saya, yang cocok dengan saya, yang satu pandangan dengan saya berada di lingkaran dalam. Sedang mereka yang paling tidak cocok dengan saya, yang tidak saya sukai, yang sering saya remehkan dan abaikan, berada di lingkaran paling luar … Merekalah yang “paling hina” atau “the least.” Semakin Anda mencampakkan dia, semakin dia menjadi “the least”, semakin sesuailah ucapan Yesus ini, “apa yang kau lakukan terhadap yang paling hina, the least, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
“The least” atau “yang paling hina” amat penting di sini. Sehina-hinanya manusia di mata kita, Yesus sudah melampaui kehinaan mereka, menjadi manusia yang paling hina. Karena itu, Yesus bersedia dijumpai dalam diri manusia yang terhina sekalipun.
- Seorang kepala biara kewalahan dan stress karena biara yang baru dilayaninya selama beberapa bulan terlibat konflik yang parah. Semua saling curiga, saling menyalahkan dan saling menjatuhkan. Sama sekali tidak ada damai di dalamnya. Akhirnya kepala biara yang baru ini pergi menemui bekas profesornya yang sudah pensiun dan menceritakan masalahnya. Ia kemudian bertanya, “Apakah masalah ini muncul karena ada dosa yang kami lakukan?” Dengan tenang profesor tua ini menjawab, “Ya, dosa ketidakpedulian.” “Apa maksudnya?” “Sebenarnya salah seorang dari antara kalian adalah Mesias yang datang dengan menyamar dan kalian semua mengacuhkan-Nya.”
- Sepanjang perjalanan pulang, pemimpin biara ini berpikir keras, Mesias sendiri sudah datang ke biara kami? Bagaimana mungkin kami lalai mengenali-Nya. Siapa Dia? Bendahara biarakah? Tukang masakkah? Ah tidak mungkin … Mereka terlalu banyak kesalahannya. Tapi, bukankah tadi dikatakan bahwa Mesias datang dengan menyamar.
- Sesampai di biara, kepala biara ini menceritakan apa yang didengarnya kepada seluruh biarawan. Semua orang terkejut dan memandang satu sama lain. Mesias? Di sini? Di biara ini? Menyamar? Jika benar menyamar, demikian pikir mereka, pastilah Dia menyamar sebagai seseorang yang paling tidak mungkin kita tebak. Tapi siapa?
- Akhirnya, dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab itu, setiap kali mereka berjumpa dengan biarawan lain, mereka selalu berpikir, “Jangan-jangan dia …” Dan alhasil, mereka memperlakukan orang yang dijumpainya dengan penuh hormat dan penghargaan, karena jangan-jangan dialah Sang Mesias yang menyamar. Beberapa bulan berlalu dan perlahan-lahan atmosfer kehidupan biara berubah menjadi cerah. Tidak ada lagi sikap saling menyalahkan dan memusuhi. Dan masyarakat sekitar yang tadinya takut datang ke biara yang “angker” itu kini mulai berdatangan kembali. Dan setelah bertahun-tahun, pertanyaan itu, “Siapakah Mesias yang menyamar itu” tetap tidak terjawab. Namun mereka sudah tak lagi ingin mengetahui jawabannya.
Dan kepada jemaat, petuah yang sama disampaikan, “Sebenarnya salah seorang dari antara kalian adalah Mesias yang datang dengan menyamar dan kalian semua mengacuhkan-Nya.” Amin.