Seri Tujuh Dosa Maut: Kemalasan Spiritual
oleh: Pdt. Joas Adiprasetya
Si pemalas berkata: “Ada singa di luar, aku akan dibunuh di tengah jalan.”
(Amsal 22:13)
“Sloth views the towers of Fame with envious eyes, desirous still, still impotent to rise.” (William Shenstone)
“Sloth is the sin that believes in nothing, cares for nothing, seeks to know nothing, interferes with nothing, enjoys nothing, and remains alive because there is nothing for which it will die.” (Henry Fairlie)
satu
Salah satu binatang yang paling ingin saya lihat di kebung binatang adalah Kungkang atau Sloth. Kungkang adalah salah ciptaan Allah yang paling lamban dan diam. Binatang berkuku dua ini mampu menghabiskan delapan belas hingga dua puluh jam per hari hanya untuk bergantung terbalik, tidur atau sekedar diam, di sebuah dahan. Seekor kungkang memiliki kecepatan rata-rata berjalan lima meter per jam. Begitu lambannya ia hingga seorang penulis mengatakan bahwa daun-daun benalu-benalu dapat tumbuh menjalar melewati bulunya hingga ia dapat menyedot nutrisi dedaunan itu. Sungguh berbeda dengan karakter Sid, kungkang lincah dan bawel alam film Ice Age.
Amat mungkin binatang ini dinamai Sloth karena mencerminkan dosa mematikan yang ketujuh, yang memiliki nama yang sama. Karakter kemalasan dan kelambanan yang ditunjukkan oleh seekor Kungkang mengingatkan kita pada seorang yang terjebak ke dalam dosa Sloth. Akan tetapi, sesungguhnya Sloth lebih dari sekedar kemalasan. Sloth digolongkan ke dalam tujuh dosa yang mematikan karena ia lebih menunjuk pada “kemalasan” spiritual. Sloth merupakan jenis dosa yang ketiga—selain perveted love (Pride, Envy dan Anger) dan excessive love toward earthly things (Greed, Lust dan Gluttony)—yaitu the Insuffient Love, Kasih yang tak memadai.
Lebih lagi, ia merupakan masalah spiritual karena ia merusak hakikat dan citra kemanusiaan yang diciptakan Allah sebagai homo faber, manusia pekerja. Sloth lebih dari sekedar kemalasan, juga karena ia menampilkan sikap tak acuh, raibnya pathos atau passion, terhadap dunia yang dihuninya. Ia adalah nama lain dari apati.
dua
Elie Wiesel, salah seorang dosen saya di Boston University, School of Theology, yang terkenal dengan bukunya, Night, mengarang buku lain yang berjudul The Town Beyond the Wall. Buku ini merupakan sebuah novel sekaligus autobiografinya. Tokoh novel ini bernama Michael, seorang survivor tragedi Holocaust, yang melakukan perjalanan berbahaya ke kota asalnya di Hungaria. Apa yang hendak dicarinya, setelah pengalaman mengerikan di Holocaust itu? Wiesel menulis,
Michael, dengan cara yang aneh, memahami kebutralan para penyiksa dan penjaga penjara, namun apa yang menghantuinya dan apa yang sungguh-sungguh membuat ingin kembali ke kota asalnya adalah sesuatu yang tak dapat dipahaminya. Ada seorang pria yang tinggal di seberang jalan di depan Sinagogenya. Pria ini mengintip lewat tirai jendelanya, hari demi hari, sementara ribuan orang Yahudi diarak ke dalam gerbong kereta maut. Ia menampilkan wajah tanpa belas kasihan, tanpa rasa senang, tanpa kejutan, dan bahkan kemarahan atau minat. Impassive, dingin, impersonal.
Wiesel lantas melanjutkan bahwa di dalam diri Michael terdapat ikatan antara penyiksa yang brutal dan para korban, sekalipun ikatan yang negatif. Setidaknya mereka berada di semesta yang sama. Namun tidak dengan si pengintip ini. “Ia sungguh-sungguh hidup di dunia seberang. Melihat tanpa dilihat, hadir tanpa diketahui.” Lantas, Wiesel menyimpulkan, “Menjadi orang yang tak acuh, untuk alasan apa pun, berarti menolak keabsahan keberadaan kita, namun juga keindahannya. Berkhianatlah dan engkau tetap seorang manusia, siksalah sesamamu, engkau masih seorang manusia. Kejahatan adalah manusiawi. Kelemahan adalah manusiawi. Ketidakacuhan sama sekali tak manusiawi.”
Kisah yang dituturkan Elie Wiesel adalah bentuk ekstrim dari Sloth, yang agaknya dipahami sebagai ketidakacuhan ketika nilai kemanusiaan yang terdalam terancam dan terusik. Kepekaan nurani menjadi minimal dan bahkan tumpul. Yang ada hanyalah sikap apatis—tiadanya pathos. Sikap Wiesel mengingatkan kita pada sikap Allah pada jemaat di Laodikia, “
Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku. (Why. 3:15-16)
Allah dapat memahami panas; Allah dapat mentolerir dingin; namun, Allah muak pada suam-suam kuku. Dan inilah arti pertama dari kata Latin acedia, yang secara hurufiah berarti “no care” atau apathia (“no passion”). Tidak ada ikatan batin sama sekali antara seorang yang apatis dengan sesama manusianya. Dengan demikian Sloth menjadi dosa yang serius, karena hakikat manusia sebagai makhluk komunal dan sosial diingkari. Keberadaan manusia sebagai keberadaan-bersama-sesama—atau dalam bahasa Gabriel Marcel, filsuf eksistensial Yahudi itu: “esse est co-esse,” ada berarti ada-bersama—lenyap.
Sloth tak bisa disamakan dengan kemalasan, sekalipun kemalasan jelas menjadi salah satu wujud dari Sloth. Sloth bisa menghinggapi seseorang yang teramat sibuk dan tak punya waktu untuk bersantai-santai. William R. White menulis,
“Bahkan orang-orang yang peduli pun dapat terjatuh dalam dosa tidak peduli. Para pendeta, misalnya, yang menolong setiap orang yang mengetuk pintu rumahnya, seringkali berubah menjadi tuli pada teriakan dan keluhan anggota keluarganya sendiri … Sloth adalah sekerumun orang yang memalingkan kepalanya ketika seorang perempuan dirampok di jalanan New York City. Sloth adalah sebuah perusahaan kimia yang menuangkan limbah beracun ke tanah.”
Dengan kata lain, hidup terdiskoneksi dengan lingkungan dan sesama. Karena itu the spectator dalam kisah Wiesel amat tepat menggambarkan dimensi pertama dari Sloth ini.
Kedua, Sloth bermasalah juga karena ia bisa tampil lewat tidak adanya semangat untuk merayakan kehidupan lengkap dengan panggilan untuk bekerja. Makna kemanusiaan sebagai homo faber, manusia pekerja, lenyap dan yang tertinggal hanyalah dimensi kemanusiaan sebagai homo ludens, manusia bermain. Hidup menjadi sekedar permainan, yang dinikmati semaksimal mungkin dan menyaman mungkin. Citra Allah yang bekerja, yang seharusnya tercermin pula dalam citra manusia yang bekerja, diingkari habis-habisan. Setiap hari, bagi seorang yang malas, merupakan Sabat. Karena itulah Sloth sering digambarkan sebagai setan tengah hari (noonday demon), yaitu gaya hidup kemalasan dan bersantai saat bayangan tubuh kita tak terlihat karena teriknya matahari tepat di atas kita. Mereka menyangka kebaikan Tuhan diberikan tanpa usaha dan perjuangan manusia.
Setepat-tepatnya, tampilan kedua dari Sloth ini diperagakan oleh hamba ketiga yang menerima satu talenta dalam perumpamaan Yesus di Matius 25:14-30. Hamba ketiga itu menunjukkan kemalasannya dengan berkata,
Kini datanglah juga hamba yang menerima satu talenta itu dan berkata: Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut dari tempat di mana tuan tidak menanam. Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah: Ini, terimalah kepunyaan tuan! (Mat. 25:24-25)
Hamba ketiga ini mencerminkan sebuah teologi yang buruk yang mencitrakan seorang Allah yang kejam, tanpa kebaikan sama sekali, yang siap menghantam hamba-hamba-Nya yang berjuang … dan gagal. Teologi buruk macam ini mengakibatkan ketakutan untuk mengusahakan talenta dan merayakan kehidupan yang penuh perjuangan. Alhasil, kemalasan muncul. Hidup tak bermakna apa-apa.
Ketiga, yang lebih parah, Sloth menjadi dosa ketika ia—sama seperti dosa lainnya—menarik manusia untuk menelikungkan arah hidup pada diri sendiri, curvatus in se. Namun penelikungan ini—berbeda dengan dosa-dosa lain—menampilkan citra yang memilukan, menyedihkan dan negatif. Bapa gurun pasir bernama John Cassian menggambarkan acedia sebagai “sejenis kesedihan,” dan asosiasi kemalasan (acedia) dengan kesedihan (tristitia) ini digemakan kembali oleh seorang bapa gereja bernama Gregorius Agung. Kata Jerman Weltsmerz, yang secara hurufiah berarti terlukai oleh dunia, mungkin tepat menggambarkan jenis kesedihan ini. Seseorang yang terjebak ke dalam Sloth merasa sedih dan pilu akibat dunia yang dihadapinya, namun kemudian reaksi yang muncul bukanlah perjuangan di dalam dunia dan mensyukuri Allah di tengah dunia yang memilukan, namun justru melawan dunia dengan cara menjauhinya dan memasuki relung hati hanya untuk sekedar diam dan mencari rasa aman semu. Itu sebabnya penyakit spiritual ini banyak ditemuikan di antara anak-anak muda, yang mungkin berpendidikan tinggi, berlatar belakang dari keluarga kaya, namun tak memiliki semangat hidup dan tekad untuk berjuang. Sloth lantas tampil dalam perilaku curang dalam ujian—yang tentu akan dilanjutkan dengan perilaku curang dalam pekerjaan. Tak lagi ada pengharapan akan masa depan. Dunia sudah begitu busuk … dan saya tak peduli.
Citra macam ini juga diperagakan dengan amat jitu oleh Albert Camus dalam novelnya yang berjudul The Stranger. Novel ini diawali dengan kalimat yang menggelisahkan, “Ibu meninggal hari ini, atau mungkin kemarin?” Sikap serupa, yaitu penarikan diri dari terpaan dahsyat dunia dan meratapi hidup yang menyedihkan, muncul dalam diri murid-murid Yesus, yang tertidur justru saat Yesus berjuang di ambang maut di Taman Getsemani.
Lalu Ia bangkit dari doa-Nya dan kembali kepada murid-murid-Nya, tetapi Ia mendapati mereka sedang tidur karena dukacita. Kata-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” (Luk. 22:44-45)
Keempat, Sloth mencerminkan kebosanan pada hidup. Tak ada yang bisa dirayakan dan dinikmati dalam hidup. Kebosanan spiritual ini paling mungkin muncul karena beban hidup yang teramat dalam yang melampaui kemampuannya melihat sepercik terang kasih Allah. Lantas, tak ada lagi kejutan di hari esok.
Untuk merangkum pemahaman kita mengenai Sloth, ada baiknya kita mendengarkan kata-kata Evelyn Waugh, yang pernah menidentifikasi Sloth sebagai dosa khas zaman modern-usang (late-modern) ini. Ia menulis pendapat yang kurang-lebih menyerupai Eli Wiesel,
Roh dari keadaan ini [Sloth] melampaui sekedar kesedihan dan melankoli. Ia telah menghilangkan dirinya sendiri dari naik turunnya perasaan; akar sesungguhnya dari perasaan telah mati. Itu sebabnya mengapa, bagi para moralis Abad Pertengahan, Sloth … merupakan salah satu dosa yang paling mengerikan. Ia merupakan dosa pada batasnya yang terjauh. Menjadi manusia berarti memiliki hasrat. Seseorang yang baik memiliki hasrat akan Allah dan hal-hal lain di dalam Allah. Manusia yang berdosa memiliki hasrat akan hal-hal tertentu yang menggantikan Allah, namun ia masih dapat dianggap sebagai manusia, sejauh ia memiliki hasrat. Namun, manusia yang terjebak dalam Sloth adalah manusia yang mati, sampah yang kering … hasratnya telah mengering.
tiga
Jelaslah bahwa inti persoalan Sloth ada pada hasrat hidup yang melemah atau malah hilang sekali, yang bisa mewujud dalam berbagai bentuk: tumpulnya nurani pada persoalan hidup sesama dan terdiskonesinya diri pada dengan sesama, hilangnya semangat kerja dan merayakan hidup, kepedihan menghadapi dunia yang bermasalah, serta kebosanan yang radikal dalam hidup dan terhadap kehidupan. Bagaimana iman Kristen menjawab dosa Sloth ini?
Pertama, perlu disadari bahwa Sloth selalu dijawab oleh semangat hidup (zeal) dan sukacita (joy). Sukacita sejati tidak ditentukan oleh kondisi di sekeliling kita. Ia adalah manifestasi hati yang menerima sepenuh-penuhnya rahmat Allah. Pada saat bersamaan, hidup yang dirahmati itu mendorong cara hidup yang diwarnai dengan semangat (zeal). Ada kobaran batin untuk berpartisipasi di dalam dunia dan hidup sesama, terlepas dari beratnya hidup di dunia ini. Seorang yang dipenuhi dengan semangat dan sukacita mampu melangkah walau perlahan dalam derita dunia, demi menuntaskan tugas yang Allah percayakan kepadanya hingga selesai. Sama seperti Kristus yang di atas kayu salib berteriak, setelah seluruh karya-Nya usai hingga tuntas, “Sudah selesai” (Yohanes 19:30). Semuanya telah usai. Semuanya mati; kehidupan mati, kematian mati. Manusia mati, Anak Allah mati. Yang tertinggal adalah cinta kasih dan pengharapan. Cinta kasih tetap hidup karena itulah passion yang membuat Hyesus berteriak sebelum menghembuskan napas terakhir. Pengharapan tak mati, karena ia menantikan kebangkitan dan hidup kekal.
Rahmat salib itulah yang diperdengarkan kepada mereka yang terjebak ke dalam Sloth. Itulah sebabnya Paulus mengutip sebuah madah dari gereja mula-mula, “Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu” (Efe. 5:14). Dan ia melanjutkan: “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat” (ay. 15-16). Setiap detik hidup adalah kairos (kesempatan) pemberian Allah, yang harus direnggut atau ia akan lenyap selamanya.
Penderitaan dan persoalan memang bisa menyeret kita pada Sloth. Namun di tengah kegelapan tergelap selalu ada terang Allah, walau secuil. Ia memberi harapan dan membangkitkan hasrat pada hati manusia untuk berjuang. Victor Frankl, seorang psikolog sekaligus survivor dari holocaust, mengisahkan bagaimana ia bisa bertahan dalam penderitaan holocaust yang mahadahsyat itu. Yang dilakukannya adalah menemukan di tumpukan penderitaan, kekejaman dan keputusasaan sesuatu yang dapat mengingatkannya pada keindahan hidup, sukacita hidup, dan kebaikan hidup. Secuil roti kering yang ditemukannya di pagi hari, yang disimpannya di saku sepanjang hari, agar bisa dinikmati di saat senja di baraknya. Atau, keindahan sekuntum bunga liar yang ditemuinya sementara ia berjalan dalam arakan orang-orang Yahudi yang harus bekerja rodi. Atau bahkan, kebaikan yang mengejutkan dari seorang prajurit Nazi yang menolong seorang Yahudi tua untuk bangun dan bahkan memberinya makanan ekstra; tindakan ini, menurut Frankl, membuatnya percaya bahwa bahkan dalam hidup manusia yang paling keji sekalipun masih dapat dijumpai secuil harkat kemanusiaan.
Akhirnya, mungkin ada baiknya mengingat “aturan hidup” yang dibuat oleh John Wesley—karena itu disebut “John Wesley’s Rule”—bagi kelompok Methodist yang didirikannya:
Do all the good you can,
By all the means you can,
In all the ways you can,
In all the places you can,
At all the times you can,
To all the people you can,
As long as ever you can.