Site icon

Khotbah Adven: Menunggu

oleh: Andy Kirana

Pekerjaan apa yang paling membosankan? Rasanya semua orang akan setuju bahwa menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan, tidak menyenangkan, bahkan sangat menjengkelkan. Ketika menunggu, waktu seakan tiba-tiba berjalan lambat dan perasaan hati seakan menjadi tidak jelas pijakannya; begini salah begitu salah. Makanya orang cenderung menjadi tidak sabaran, inginnya mencari jalan pintas yang gampang. Sadar sih sadar bahwa dengan begitu tidak jarang malah mempersulit diri sendiri, tetapi kesadaran rupanya seringkali dikalahkan oleh ketidaksabaran.

Mau bukti? Lihat di jalan raya. Tidak sabar menunggu kendaraan yang lain, orang lantas nekad mengambil jalur yang bukan jalurnya. Padahal mungkin beda waktu yang didapat hanya dalam hitungan menit. Akibatnya, lalu lintas macet. Dari macet terus merembet ke emosi, sumpah serapah dan marah-marah sendiri. Lalu stress. Bisa jadi kena stroke; lebih parah lagi, akhirnya stop alias mati! Tidak sabar juga menggejala dalam hidup sehari-hari: tidak sabar memperoleh apa yang diinginkannya, tidak sabar karena ‘badai’ tidak segera berlalu, tidak sabar promosi jabatan tidak kunjung turun. Lantas mengambil jalan pintas: dari mulai nyolong, nyogok, nyulik, sampai akhirnya nyungsep! Dan jangan heran kalau di gereja kerap ada juga orang yang tidak sabaran. Parkir kendaraan berebutan. Pernah lho, gara-gara parkir di gereja, orang malah berantem. Pulang kebaktian balapan keluar dengan pendetanya yang turun mimbar hendak memberi salam kepada jemaat di pintu depan.

Tidak sabar, tampaknya sudah menjadi tanda-tanda zaman. Sekarang segala sesuatu diupayakan serba instan. Mau makan, tidak perlu repot memasak, ada go-food yang siap mengantar makanan apa pun. Mau minum kopi, tidak perlu repot menyeduh, karena ada permen rasa kopi. Konon, pernah ada seorang suami mengeluh. Dulu istrinya selalu menyeduhkan secangkir kopi sebelum ia berangkat ke kantor. Eh, sekarang istrinya hanya menyediakan dua buah permen rasa kopi di atas meja.

Tidak heran jikalau Abraham dan Sara tidak sabar menunggu “janji Allah” (Kejadian 15:18), bahwa keturunannya akan banyak seperti bintang di langit, dan bahwa bangsa-bangsa akan diberkati melalui keturunannya. Pada waktu itu mereka sudah tua dan mandul. Ketidaksabaran ini membuat mereka tidak lagi setia pada janji Allah, dan lahirlah Ismail melalui Hagar. Kita tahu akibat ketidaksabaran ini, dua bangsa besar sampai sekarang terus bertikai tiada henti dan berpengaruh bagi seluruh dunia. Namun Allah tetap menepati janji-Nya setelah mereka menunggu selama 25 tahun.

Contoh lain dari ketidaksabaran dan ketidaksetiaan atas janji Allah adalah yang dilakukan oleh umat Allah, Israel. Sebenarnya secara geografis, perjalanan dari Mesir ke Kanaan dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih dua tahun; namun karena mereka bersungut-sungut dan berdosa, akhirnya mereka berputar-putar sampai 40 tahun lamanya di padang gurun. Tetapi Allah tetap menepati janji-Nya. Mereka, terutama angkatan mudanya, tiba di tanah perjanjian Kanaan. Allah juga menjanjikan Sang Mesias melalui nubuat nabi Yesaya (Yesaya 9:5-6), dan baru terpenuhi 700 tahun kemudian, “setelah genap waktunya” (Galatia 4:4); baik secara rohani, politis, geografis, maupun linguistik. Nampaknya berlambatan, tetapi Allah menepati janji-Nya.

Jadi, selama hidup ini kita tidak bisa lepas dari menunggu. Sebab menunggu itu memang bagian dari kehidupan ini. Hanya memang bagi banyak orang, ternyata menunggu itu sulit. Kenapa menunggu itu dirasakan sebagai sesuatu yang sulit? Pertama, bisa karena memang sudah sifat manusia yang tidak sabaran. Inginnya langsung jadi. Apalagi di zaman serba instan ini, segala sesuatunya mesti serba cepat, sehingga makin tidak sabaran lagi. Atau yang kedua, bisa juga karena orang menganggap menunggu itu negatif. Pekerjaan yang hanya buang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya.

Untuk jawaban yang pertama, karena sifat manusia yang cenderung tidak sabar, kita tidak bisa mempersoalkannya. Kita kembalikan ke diri kita masing-masing. Tetapi untuk jawaban kedua, karena menunggu itu hanya buang-buang waktu dan tidak ada gunanya, kita bisa mempertanyakannya: Apa betul demikian? Kalau dipikir-pikir kok ya belum tentu begitu. Tergantung dari apa yang ditunggu dan bagaimana cara kita menunggu.

Kalau kita hanya menunggu sesuatu yang sia-sia, ya buang-buang waktu. Seperti dalam cerita anak-anak. Ada seekor serigala yang sedang tidur. Tiba-tiba di depannya ada kelinci yang meloncat-loncat, lalu menabrak batu dan mati. Jadilah santapan serigala itu. Merasa tidak melakukan apa pun ternyata bisa dapat makanan, maka selama beberapa hari berikutnya serigala itu menunggu terus, kalau-kalau ada kelinci yang nabrak batu lagi. Ya sia-sia menunggunya itu.

Menunggu juga akan buang-buang waktu, kalau selama menunggu itu kita tidak berusaha apa-apa, hanya diam. Padahal tidak selamanya menunggu itu harus dengan diam. Menunggu bisa dan memang seharusnya sambil melakukan sesuatu yang bermanfaat, demi yang kita tunggu itu. Apalagi yang kita tunggu adalah Tuhan Yesus. Dengan demikian menunggu itu menjadi punya makna yang dalam.

Lalu bagaimana cara kita menunggu? Sebagai gambaran, jika kita sedang menunggu di ruang tunggu dokter, tentunya menunggu dokter yang sama, dan biasanya kita langsung akrab dengan mereka yang sama-sama menunggu dokter itu. Kita bisa ngobrol dengan mereka secara bebas dan leluasa. Kecuali, kalau sedang sakit gigi dan harus menunggu dokter gigi, biasanya kita menjadi enggan untuk bercakap-cakap dengan orang lain. Begitu pula saat ini, kita semua sebagai orang percaya sama-sama menunggu kedatangan Tuhan Yesus (adven). Tapi anehnya, mengapa kok kebanyakan saling diam-diaman? Barangkali semua lagi sakit gigi. Tapi coba, kalau orang-orang sedang menunggu dokter kandungan. Saya perhatikan bahwa mereka biasanya gampang menjadi sangat akrab. Mereka saling bertanya, “Anak ke berapakah yang akan lahir nanti? Pengin laki-laki atau perempuan?” Mengapa mereka bisa akrab? Karena dokternya belum datang dan menungggu dokter yang sama. Jadi, itulah sebabnya saya ingin mengubah “ruang tunggu dokter gigi” itu menjadi “ruang tunggu dokter kandungan.”

Apakah pelajaran yang kita peroleh dari pengalaman-pengalaman menunggu ini? Pertama, bahwa Allah yang berjanji itu setia, walaupun kita tidak setia“Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya” (2Timotius 2:13). Kedua, nampaknya berlambatan menurut waktu kita, namun tidak bagi Allah. Karena “di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari” (2Petrus 3:8). Ukuran waktu bagi Allah adalah kekal. Ketiga, kita harus menunggu dengan sabar dan setia.

Saat ini bangsa kita, bahkan dunia sedang diuji kesabarannya dengan pandemi Covid-19. Kita menunggu dan bertanya-tanya kapan pandemi ini akan berakhir? Walaupun saat ini vaksinnya sudah ada dan sudah sampai di Indonesia, kita pun masih menunggu dan bertanya-tanya apakah vaksin ini efektif mencegah Covid-19 dan mampu menyembuhkan mereka yang terjangkit Covid-19? Sebagai orang yang percaya, penghiburan kita saat menunggu adalah “adven”, kedatangan Tuhan Yesus yang kedua, “Natal yang kedua.” Tetapi kapan itu terjadi? Kembali kita harus menunggu lagi penggenapan janji kedatangan-Nya. Oleh karena itu, marilah kita semua menunggu kedatangan-Nya dengan akrab, sabar, setia, dan giat melayani seraya mengingat firman-Nya: “Tetapi orang yang bertahan sampai kepada kesudahannya akan selamat” (Matius 24:13). Amin, maranatha!

Exit mobile version