Site icon

Menangkap Angin

Menangkap Angin

oleh: Pdt. Nathanael Channing

 

“Siapa yang mengacaukan rumah tangganya akan menangkap angin; orang bodoh akan menjadi budak orang bijak” (Amsal 11:29).

Bagaimana Amsal melihat keharmonisan dalam sebuah keluarga? Bagi Amsal keharmonisan keluarga itu sangat penting. Amsal sangat menjunjung tinggi keharmonisan yang harus dialami semua orang berkeluarga. Memang tidak seorang pun bisa ada tanpa keluarga. Semua orang, dari lahir sampai meninggal, ada dalam keluarga. Bagaimana keluarga bisa harmonis? Bagi Amsal, itu tergantung sepenuhnya pada seluruh anggota keluarga. Jika ada salah satu anggota yang mengacau, seluruh keluarga itu menjadi tidak harmonis. Amsal mengatakan bahwa keluarga yang mengalami kekacauan akan menangkap atau mendapatkan angin dan ini berarti sia-sia atau tak bermakna.

Bentuk dari keluarga kacau misalnya keluarga berantakan, tidak ada rasa hormat, saling melawan, serta terus terjadi kekerasan, pertengkaran, dan sebagainya. Kekacauan itu digambarkan Amsal seperti menangkap angin. Angin itu mempunyai kekuatan luar biasa atau punya tenaga super yang bisa merobohkan bangunan kokoh, pohon besar, dan sebagainya. Namun, tidak seorang pun dapat menangkap angin. Angin hanya bisa dirasakan, entah itu lembut, sepoi-sepoi, kering dan panas, atau kencang dan menakutkan seperti badai. Namun jelas, dari yang lembut sampai yang keras, angin tetap tidak bisa ditangkap.

Gambaran itulah yang disampaikan oleh Amsal. Untuk membina sebuah keluarga harmonis, seluruh anggota keluarga perlu menjalani hidup dengan saling mengasihi. Kasih dapat saling menunjang, membantu, menolong, sehati dan sepikir. Apa yang dimaksud Amsal dengan “mengacaukan”? Jelas, orang yang mengacau adalah yang tidak tahu aturan. Orang tersebut tidak sadar bahwa dalam hidup ini ada aturan, sopan santun, tata krama, dan rasa hormat satu sama lain.

Dalam berkomunikasi, ada bahasa yang benar, sopan, meneguhkan, menyemangati, memotivasi, dan memberi pengharapan. Namun, ada pula bahasa yang menyakitkan, merendahkan, menghina, melecehkan, membuat putus asa atau kecewa, dan sebagainya. Kita bisa memandang sesama dengan belas kasihan, memberikan semangat, atau menjadi berkat, tetapi kita juga bisa saling merendahkan, menyakiti, mengejek, atau meremehkan. Orang yang “mengacaukan” keluarga adalah mereka yang memakai bahasa negatif, menjengkelkan orang lain, dan sebagainya. Orang yang mengacaukan keluarga pasti tidak takut akan Tuhan dan yang hatinya melakukan kejahatan. Ia sudah meninggalkan Tuhan, maka hidupnya mengacaukan keluarga.

Keluarga yang takut akan Tuhan dimulai dari semua anggota keluarga yang hidupnya berjalan bersama Tuhan dan setia melakukan firman Tuhan dalam hidup sehari-hari. Apa pun yang terjadi dalam keluarga, baik yang menyenangkan atau menyedihkan, setiap orang dipanggil untuk saling menguatkan, bukan mengacaukan. Amin.

 

Pokok Doa:

 

 

Exit mobile version