Site icon

Menjadi Agen Perubahan


Oleh: Pdt. Ruth Retno Nuswantari 

Kisah Para Rasul 9:1-18

Apakah orang jahat, pembunuh, teroris, dll bisa berubah? Bisa! Kalau begitu, pepatah: “Watuk iso mari, tapi watak ga iso mari” salah ya? Salah! Filsafat “bibit-bobot-bebet”? Tergantung! Kalau diartikan bahwa ada konsekwensi pola dosa yang diturunkan dari nenek moyang itu betul.

Ada sebuah lembaga riset yang meneliti garis keturunan seseorang, salah satu hasilnya sbb:

Max Jukes adalah seorang ateis yang tinggal di New York . Ia menikah dengan seorang wanita yang juga tidak takut akan Tuhan. Mereka mempunyai 1.026 keturunan; 300 orang tercatat pernah dipenjara karena berbagai kejahatan yang dilakukannya dengan hukuman rata-rata 13 tahun; 190 orang lainnya adalah pelacur; 680 orang adalah pemabuk. Keluarga ini telah merugikan negara bagian New York sebesar $1,25 juta.

Sebaliknya, Jonathan Edwards hidup pada negara bagian yang sama dan pada masa yang sama pula dengan Max Jukes. Ia mengasihi Tuhan dengan segenap hatinya. Ia menikah dengan seorang Kristen yang taat kepada Tuhan juga. Ia mendidik anak-anaknya di dalam Tuhan. Tercatat ia mempunyai 1.394 keturunan; 295 adalah lulusan dari berbagai perguruan tinggi; 13 orang menjadi rektor; 65 orang menjadi profesor; 3 orang terpilih sebagai senator di Amerika Serikat, 3 orang sebagai gubernur; 30 orang menjadi hakim; 100 orang menjadi pengacara; 56 orang menjadi dokter; 75 orang menjadi perwira militer; 100 orang menjadi misionaris, guru, dan orang-orang terkenal – 80 orang memegang peranan penting dalam berbagai instansi, dan salah satunya adalah wakil presiden Amerika Serikat. Tidak ada dari keturunannya yang merugikan negara. Semua keturunannya telah memberikan sumbangan yang amat berarti bagi negaranya!

Mengapa itu bisa terjadi? Sebab tanpa sadar kita cenderung meniru banyak hal, baik yang baik maupun yang buruk dari orang tua kita tanpa kita sadari. Bahkan, orang yang bertekad untuk menjadi orang yang berbeda karena pernah terluka oleh sikap-sikap mereka yang buruk, tanpa sadar bisa justru cenderung berbuat yang sama.

Saya mengenal seorang pemuda yang sangat benci kepada ayahnya karena ayahnya hafal Alkitab dan mengajarkannya kepada anak-anaknya, tetapi praktik hidupnya berlawanan dengan apa yang dia ajarkan, suka berbohong, berselingkuh,dll. Setelah dewasa, tanpa dia sadari mengulangi persis seperti yang dilakukan ayahnya.

Saya juga pernah bertemu dengan seorang ibu, katakanlah namanya ibu A. Dia sangat menyesal karena gampang sekali meledak marahnya bahkan telah menghukum anaknya dengan menguncinya di kamar mandi. Dia berkata bahwa dia sudah berusaha sekuat tenaga supaya lebih sabar tetapi terus gagal dan gagal. Akhirnya, setelah melalui percakapan konseling ditemukan bahwa dia menyimpan kemarahan terhadap ibunya karena waktu kecil juga diperlakukan demikian. Pikiran sadarnya tidak mau melakukan itu karena tahu bagaimana sakitnya dikunci di kamar mandi, tetapi ketika anaknya melakukan kesalahan, dia tidak bisa mengendalikan dorongan dari dalam dirinya yang sangat kuat untuk justru melakukan hal yang sama.

Namun, jika  pola dosa itu dianggap menetap, tentu tidak benar. Betapapun jahatnya kehidupan seseorang dan berasal dari keluarga yang rusak seperti apapun, di dalam Tuhan bisa berubah. Ibu A berubah setelah melalui proses konseling dia mengalami perjumpaan dengan Tuhan, mau mengakui lukanya terhadap ibunya dan melepaskan pengampunan.

Paulus sejak kecil diasuh dengan pola agama Yahudi yang sangat ketat, dengan ajaran fundamentalisme yang legalistik dimana kehidupan beragama dihayati sebagai serangkaian peraturan dan upacara, setelah dewasa dia menjadi teroris. Atas nama agama ia menganiaya dan membunuh orang Kristen dengan keyakinan bahwa dia sedang berbuat bakti kepada Allah. Mengerikan sekali! Jadi, radikalisme, intoleran dan terorisme itu bukan barang baru!

Namun, seperti ibu A, Paulus mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan Yesus. Bedanya, ibu A sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya dan mencari pertolongan melalui proses konseling, walaupun dia bisa sadar tentunya karena Allah telah menyatakan diri kepadanya, tetapi Paulus, tanpa rencana, tanpa didahului dengan kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, bahkan dia sedang merasa sangat okey, berbuat bakti bagi Allah, langsung ditemui oleh Tuhan Yesus, buta selama 3 hari. Dengan bimbingan Ananias yang diutus Tuhan kepadanya, Paulus sadar bahwa sebenarnya dia tidak sedang berbuat bakti kepada Allah melainkan justru melawan Allah. Dia mengakui dosanya, bertobat dan diubahkan seratus delapan puluh derajat. Setelah diubahkan, baik ibu A maupun Paulus dipakai Tuhan menjadi agen perubahan bagi orang lain.

Kita semua juga bisa berubah dan menjadi agen perubahan bagi orang lain

Bagaimana caranya?

Pertama, jangan pernah menghakimi dan berkata: “Tidak ada harapan!”, atau “watuk iso diobati tapi watak ga iso!”, atau “bibit, bobot, bebet itu harga mati!” Bagaimanapun jahatnya seseorang, tetaplah percaya bahwa dia bisa berubah bahkan seratus delapan puluh derajat, jika dia mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan.

Ananias pada awalnya beralasan, ketika diutus Tuhan menemui Saulus. Mungkin dalam hati tanpa sadar dia juga menghakimi Saulus sebagai orang jahat yang tidak mungkin diubahkan. Maka Ananias menjawab: “Tuhan, dari banyak orang telah kudengar tentang orang itu, betapa banyaknya kejahatan yang dilakukannya terhadap orang-orang kudus-Mu di Yerusalem. Dan ia datang ke mari dengan kuasa penuh dari imam-imam kepala untuk menangkap semua orang yang memanggil nama-Mu.” Dengan kata lain dia berkata: “Ga salah tah Tuhan ngutus aku kepada Saulus? Dia kan teroris yang sudah menganiaya dan membunuh orang Kristen? Dia datang ke sini juga dalam rangka menganiaya dan membunuh orang Kristen. Lagi pula dia membawa surat kuasa dari imam-imam kepala. Ngapain Tuhan utus aku ke sana? Dia buta kan lebih baik, jadi tidak bisa menganiaya dan membunuh lagi. Kalau dia disembuhkan, nanti akan melakukan hal yang sama lagi, bahkan mungkin lebih buruk.” Kalau saya jadi Ananias mungkin juga saya akan berkata begitu.

Namun Tuhan berkata: “”Pergilah, sebab orang ini adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku.” Dengan kata lain Tuhan berkata kepada Ananias: “Jangan takut, pergi saja, Aku akan mengubahnya sehingga dia bukan saja tidak akan menganiaya dan membunuh orang Kristen lagi, dia bahkan akan memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa lain. Dia itu alat pilihan bagiku.”

Luar biasa, Tuhan itu, bukan? Sejak di dalam kandungan Tuhan sudah memilih Paulus, padahal Tuhan tahu apa yang akan Paulus lakukan di dalam ketidak mengertiannya. Maka, jangan menghakimi orang-orang yang saat ini hidupnya rusak dan banyak berbuat dosa. Siapa tahu, dia adalah alat pilihan Tuhan. Hanya saja Tuhan masih membiarkan dia memilih jalannya sendiri.

Kedua, jangan berusaha “menolong” Tuhan, untuk mengubah orang lain dengan kekuatan dan cara-cara manusia, karena hal itu bukan hanya sia-sia, melainkan juga akan memperburuk keadaan. Perubahan hidup yang sejati hanya bisa terjadi melalui perjumpaan pribadi dengan Tuhan dan perjumpaan dengan Tuhan terjadi atas inisiatif Tuhan serta kesediaan orang tsb untuk menerima anugerah Allah. Kalau orang tsb tidak sadar bahwa ada masalah di dalam dirinya yang perlu diselesaikan dan oleh karenanya tidak memiliki kehendak untuk diubahkan, usaha apa pun akan sia-sia.

Ketiga, bekerja di tempat Tuhan sedang bekerja.

Apa yang jemaat mula-mula lakukan untuk menghadapi serangan teroris seperti Paulus? Melawan? Tidak mungkin? Menegur bahwa perbuatan mereka salah? “Ula marani gebug”! Menasihati orang-orang yang pro mereka agar sadar bahwa mereka salah? Akan memperburuk keadaan, sebab orang-orang tsb akan melaporkan semua yang kita katakan kepada mereka dan hasilnya, mereka sendiri diserang. Mereka ada di posisi lemah. Tidak ada usaha manusia apapun yang bisa mereka lakukan. Meskipun demikian, jangan pernah lupa, mereka bisa berdoa dan  doa orang yang benar besar kuasanya (Yak 5:16b)

Sementara berdoa, mereka juga tetap memberitakan Injil di tempat-tempat yang masih mungkin dilakukan. Dunia ini sangat luas, masih sangat banyak orang yang belum mendengar Injil, apa lagi saat itu, Injil masih hanya diberitakan di Yerusalem. Tidak boleh memberitakan Injil di Yerusalem, ya pergi ke tempat lain. (Kis 8:1b, 8:4). Hasilnya, Injil tersebar ke seluruh dunia, banyak orang dari berbagai bangsa menjadi percaya dan gereja-gereja baru didirikan. Sementara mereka memberitakan Injil diberbagai tempat, pada saat-Nya Tuhan bekerja dengan cara-Nya, mengubah Paulus dari teroris menjadi pemberita Injil yang luar biasa.

Kalau kita berdoa, apa yang kita doakan? Terkadang kita harus menaikkan doa berkat, karena orang jahat adalah orang yang jauh dari berkat Tuhan. Tetapi terkadang kita justru harus berdoa meminta agar orang itu gelisah, tidak ada damai, merasakan kekosongan dalam hati yang menggigit sehingga dia mencari Tuhan. Paulus bahkan pernah menasihatkan agar orang yang demikian, tubuhnya diserahkan kepada iblis supaya selamat dari kebinasaan kekal (1 Kor 5:5, 1 Tim 1:20)

Ada seorang istri yang selama bertahun-tahun menderita karena suaminya bukan hanya tidak bekerja, melainkan juga mimun-minuman keras, berjudi, berzinah dan melakukan KDRT. Segala usaha untuk menyadarkannya telah dilakukan tetapi sia-sia. Tahun demi tahun bahkan bertambah jahat. Uang istrinya yang dikumpulkan dengan susah payah dengan berjualan makanan sering dirampas habis. Akhirnya sang istri berdoa: “Tuhan, buatlah suami saya mengalami sesuatu yang buruk supaya dia bertobat.” Doa ini kejam? Tergantung! Kalau kita mendoakannya dengan hati yang panas dan mengharapkan kehancurannya itu kejam. Tuhan tidak akan menjawab doa yang demikian atau bahkan doa kita akan menimpa kita sendiri. Tetapi jika kita mendoakannya dengan gentar dan dengan hati yang hancur dan penuh belas kasihan, dan sadar akan resikonya serta siap untuk menanggungnya, doa ini menjadi doa yang sangat efektif. Tuhan mengabulkan doa sang istri, beberapa hari kemudian suaminya kecelakaan, masuk jurang dan lumpuh. Sang istri membawanya pulang dan merawatnya dengan penuh kasih dan kesabaran, sambil terus mendoakan dan memberitakan Injil kepadanya. Sang suami tetap lumpuh sampai akhir hidupnya, tetapi dia bertobat, menerima Kristus  dan diselamatkan.

Kebanyakan orang tidak berani berdoa demikian karena kita sendiri tidak beres, kita tidak mau menanggung resikonya, kita ingin orang itu bertobat tetapi kita tidak mau beranjak dari zona nyaman kita, atau kita bahkan tidak ingin orang itu bertobat, inginnya mereka binasa seperti hal Yunus terhadap orang Niniwe. Istri yang biasa dipukuli, keadaan dipukuli itu, walaupun sakit, sudah menjadi zona nyaman bagi dia. Untuk keluar dari zona nyaman, perlu iman dan keberanian. Namun hanya orang yang berani melakukannya yang akan mengalami kuasa dan kemuliaan Allah.

Ananias mula-mula takut berjumpa dengan Paulus, tetapi dia mengerti bahwa itulah waktu Tuhan bekerja, maka dengan berani dia mengambil resiko, keluar dari zona nyaman untuk bekerja ditempat Tuhan bekerja. Maka, seperti istri yang saya ceritakan tadi, dia boleh menjadi agen perubahan bagi Paulus.

Konklusi

Disekitar kita banyak orang seperti Saulus. Mereka berbuat jahat tetapi merasa benar bahkan merasa sedang berbuat bakti kepada Tuhan. Apa yang mereka lakukan mungkin menyulitkan hidup saudara dan membuat saudara menderita. Namun, semua itu terjadi tidak secara kebetulan. Tuhan yang berotoritas menghadapkan kita pada situasi itu karena Dia mau memakai kita.

Maukah saudara menyerahkan diri kepada Tuhan dan taat kepada-Nya dengan penuh percaya bahwa sejahat apapun seseorang Tuhan berkuasa mengubahnya? Maukah saudara menyisihkan waktu setiap hari untuk berdoa bagi mereka dan pada saat-Nya berani mengambil resiko untuk keluar dari zona nyaman saudara untuk bekerja dimana Tuhan bekerja?

Kiranya Tuhan menolong kita semua.

Amin

Exit mobile version