Site icon

Peranan Tuhan dalam Pengambilan Keputusan

Peranan Tuhan dalam Pengambilan Keputusan (Yosua 9:3-21)

oleh : Pdt. Wahyu ‘wepe’ Pramudya

 

9:3 Tetapi ketika terdengar kepada penduduk negeri Gibeon apa yang dilakukan Yosua terhadap Yerikho dan Ai, 9:4 maka merekapun bertindak dengan memakai akal: mereka pergi menyediakan bekal, mengambil karung yang buruk-buruk untuk dimuatkan ke atas keledai mereka dan kirbat anggur yang buruk-buruk, yang robek dan dijahit kembali, 9:5 dan kasut yang buruk-buruk dan ditambal untuk dikenakan pada kaki mereka dan pakaian yang buruk-buruk untuk dikenakan oleh mereka, sedang segala roti bekal mereka telah kering, tinggal remah-remah belaka. 9:6 Demikianlah mereka pergi kepada Yosua, ke tempat perkemahan di Gilgal. Berkatalah mereka kepadanya dan kepada orang-orang Israel itu: “Kami ini datang dari negeri jauh; maka sekarang ikatlah perjanjian dengan kami.” 9:7 Tetapi berkatalah orang-orang Israel kepada orang-orang Hewi itu: “Barangkali kamu ini diam di tengah-tengah kami, bagaimana mungkin kami mengikat perjanjian dengan kamu?” 9:8 Lalu kata mereka kepada Yosua: “Kami ini hamba-hambamu.” Tanya Yosua: “Siapakah kamu ini dan dari manakah kamu datang?” 9:9 Jawab mereka kepadanya: “Dari negeri yang sangat jauh hamba-hambamu ini datang karena nama TUHAN, Allahmu, sebab kami telah mendengar kabartentang Dia, yakni segala yang dilakukan-Nya di Mesir, 9:10 dan segala yang dilakukan-Nya terhadap kedua raja orang Amori itu di seberang sungai Yordan, Sihon, raja Hesybon, dan Og, raja Basan, yang diam di Asytarot. 9:11 Sebab itu para tua-tua kami dan seluruh penduduk negeri kami berkata kepada kami, demikian: Bawalah bekal untuk di jalan dan pergilah menemui mereka dan berkatalah kepada mereka: Kami ini hamba-hambamu, maka sekarang ikatlah perjanjian dengan kami. 9:12 Inilah roti kami: masih panas ketika kami bawa sebagai bekal dari rumah pada hari kami berangkat berjalan mendapatkan kamu, tetapi sekarang, lihatlah, telah kering dan tinggal remah-remah belaka. 9:13 Inilah kirbat-kirbat anggur, yang masih baru ketika kami mengisinya, tetapi lihatlah, telah robek; dan inilah pakaian dan kasut kami, semuanya telah buruk-buruk karena perjalanan yang sangat jauh itu.” 9:14 Lalu orang-orang Israel mengambil bekal orang-orang itu, tetapi tidak meminta keputusan TUHAN. 9:15Maka Yosua mengadakan persahabatan dengan mereka dan mengikat perjanjian dengan mereka, bahwa ia akan membiarkan mereka hidup; dan para pemimpin umat itu bersumpah kepada mereka. 9:16Tetapi setelah lewat tiga hari, sesudah orang Israel mengikat perjanjian dengan orang-orang itu, terdengarlah oleh mereka, bahwa orang-orang itu tinggal dekat mereka, bahkan diam di tengah-tengah mereka.9:17 Sebab orang Israel berangkat pergi dan pada hari ketiga sampai ke kota-kota orang-orang itu; adapun kota-kota itu ialah Gibeon, Kefira, Beerot dan Kiryat-Yearim. 9:18 Orang Israel tidak menewaskan, sebab para pemimpin umat telah bersumpah kepada mereka demi TUHAN, Allah Israel. Lalu bersungut-sungutlah segenap umat kepada para pemimpin. 9:19 Berkatalah pemimpin-pemimpin itu kepada seluruh umat: “Kami telah bersumpah kepada mereka demi TUHAN, Allah Israel; oleh sebab itu kita tidak dapat mengusik mereka. 9:20 Beginilah akan kita perlakukan mereka: membiarkan mereka hidup, supaya kita jangan tertimpa murka karena sumpah yang telah kita ikrarkan itu kepada mereka.” 9:21 Lagi kata para pemimpin kepada mereka: “Biarlah mereka hidup.” Maka merekapun dijadikan tukang belah kayu dan tukang timba air untuk segenap umat, seperti yang ditetapkan oleh para pemimpin mengenai mereka.

 

Entah kita sadar atau tidak, bisa menerima atau tidak, sebenarnya kehidupan yang kita jalani saat ini merupakan hasil dari keputusan atau rangkaian keputusan yang pernah kita ambil pada masa lalu. Mungkin itu hasil keputusan satu atau dua hari yang lalu, satu atau dua bulan yang lalu, satu atau dua tahun yang lalu, sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Jika kita mengeluh mengapa hidup kita seperti ini? Mengapa kita sekarang mengalami saat yang tidak menyenangkan ini? Sebenarnya kita harus menyadari bahwa yang kita alami mungkin merupakan hasil kekeliruan yang terjadi pada masa lalu—bukan di sini dan saat ini—sewaktu kita mengambil suatu keputusan.

Sayangnya, kita tidak bisa kembali ke masa lalu itu untuk memperbaiki semua keputusan keliru yang pernah kita ambil. Dengan berlalunya waktu, penyesalan karena masa lalu merupakan hal yang tidak bisa kita hindari. Namun, masih ada yang bisa kita lakukan di sini dan sekarang, yaitu kita harus bertindak hati-hati karena kita masih memiliki masa depan. Pertimbangan baik-baik bahwa keputusan yang kita ambil saat ini akan memengaruhi kehidupan pada masa depan kita.

Bacaan dalam Yosua 9:3-21 berbicara tentang pengambilan keputusan oleh bangsa Israel yang ternyata keliru.

Kita bersyukur karena Alkitab dengan jujur menggambarkan dinamika di dalam kehidupan anak Tuhan. Tidak hanya ada berkat dan kemenangan saja, tetapi ada juga kegagalan, kesalahan dan kekeliruan dalam mengambil keputusan. Kita dihadapkan bukan dengan teladan umat Israel yang sempurna saja, tetapi contoh umat Israel yang juga pernah jatuh. Umat Israel juga penuh dengan kelemahan sama seperti kita. Dengan demikian, kita bisa becermin dan belajar sesuatu dari pengalaman mereka.

Menurut perspektif saya, ada dua hal yang bisa kita perhatikan dalam Yosua 9:3-21.

Pertama, bagian ini menunjukkan bahwa sebagai umat-Nya, kita terpanggil untuk melibatkan Tuhan di dalam setiap pengambilan keputusan yang kita lakukan.

Ayat ke-14 dengan jelas menyebutkan kesalahan orang Israel. Mereka tidak dikatakan kurang cermat, kurang hebat, atau cara berinvestigasinya kurang tepat; tetapi dengan tegas dikatakan, “Lalu orang-orang Isarel mengambil bekal orang-orang itu tetapi tidak mengambil keputusan Tuhan”. Kesalahan mereka jelas, yaitu tidak melibatkan Tuhan di dalam pengambilan keputusan. Apa yang mereka lakukan hanyalah berdasarkan apa yang mereka lihat, apa yang mereka pikirkan, dan apa yang mereka analisis. Mereka menganggap apa yang mereka lakukan itu bisa diandalkan, karena itu mereka melakukannya dengan mengabaikan Tuhan. Mereka mengambil keputusan semata-mata dan mutlak berdasarkan apa yang logis, rasional, dan masuk akal. Rasio, pikiran, dan kemampuan kita ada batasnya karena diri kita ini memang terbatas. Oleh karena itu, berhati-hatilah kalau secara mutlak kita mengandalkan diri pada rasio dan pengalaman. Hati-hati ada sesuatu yang terjadi di luar dugaan kita; hal-hal yang tidak kita pikirkan, tetapi sebenarnya sedang terjadi.

Perhatikan kata “mutlak” yang saya pakai; saya tidak hendak mengatakan bahwa rasio dan pikiran tidak bagus digunakan, tetapi yang hendak saya katakan adalah bahwa kemampuan rasio dan pikiran kita terbatas sehingga kita tidak boleh bersandar “mutlak” kepadanya. Apabila kita sadar bahwa rasio dan pikiran kita itu ada batasnya dan sadar betapa kecilnya kita sebagai manusia di hadapan Tuhan, otomatis kita akan membuka diri supaya Tuhan memimpin rasio dan pikiran kita.

Tuhan ingin memimpin kita dalam mengambil keputusan. Namun, kapankah kita melibatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan? Yang biasa terjadi adalah kita sudah berpikir dan sudah menganalisis semua data yang ada di tangan kita sampai akhirnya kita mendapati diri kita tidak mampu lagi, sudah jenuh, dan menemui jalan buntu; barulah kemudian kita datang: “Ya, Tuhan, tolonglah saya!” Ini berarti jika dengan rasio dan pikiran, kita bisa menemukan jalan keluar, maka kita tidak akan bertekuk lutut. Kita tidak akan berteriak minta tolong kepada Tuhan. Kita baru menempatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan hanya saat kita mendapati bahwa pikiran kita telah berhenti menemukan jalan. Jadi, Tuhan memang dilibatkan, tetapi sudah di tengah-tengah perjalanan. Betapa seringnya kita memperlakukan Tuhan seperti ban cadangan mobil yang tidak pernah kita lirik ketika semuanya lancar. Ban cadangan dipakai hanya saat diperlukan untuk mengganti yang bocor di tengan perjalanan. Kalau rencana, pikiran, dan prediksi kita sendiri menjadi kenyataan, kita tidak pernah berbicara tentang Tuhan. Akan tetapi, bila ada sesuatu yang terjadi di tengah perjalanan hidup kita, dan kita menemukan bahwa pikiran kita terbatas, maka mulailah kita minta tolong kepada Tuhan.

Jelas, Tuhan tidak mau diperlakukan seperti itu. Tuhan mau dilibatkan sejak awal, mulai dari mengumpulkan hingga mengolah data tersebut dalam proses berpikir kita sehingga Ia bisa membimbing dan memberi kita hikmat dalam mengambil keputusan yang benar. Namun, melibatkan Tuhan di dalam pengambilan keputusan sejak awal bukan berarti kita melakukan sebuah ekstrem yang lain, yaitu: “Sudah, tak usah dipikir-pikir. Tak usah dianalisis. Kita tak mau pikiran manusia; kita mau pikiran Tuhan saja. Jadi kita berdoa, dan bertanya kepada Tuhan!” Ekstrem yang satu berkata: “Andalkan akal budimu; kepintaranmu bisa menyelesaikannya bagimu”. Ekstrem yang lain berkata: “Rasio dan pikiranmu tidak berguna. Tinggalkan rasiomu dan bertanyalah kepada Tuhan.”

Bukannya saya tidak percaya bahwa Tuhan bisa menjawab dan berbicara kepada kita. Yang ingin saya katakan adalah bahwa sering kali kita melakukan sesuatu yang kelihatannya rohani, seperti berdoa minta jawaban Tuhan, tetapi sebenarnya itu merupakan kemalasan kita dalam menggunakan akal budi yang Tuhan berikan kepada kita.

Suatu kali seseorang menelepon saya dan berkata, “Pak, tolong saya! Dalam waktu 15 menit, saya harus bisa membuat keputusan untuk sebuah transaksi. Ya atau tidak? Tolong, Pak, tanyakan kepada Tuhan”. Saya cuma diberi waktu 15 menit untuk bertanya kepada Tuhan! Mungkin orang ini berpikir saya bisa seenaknya memerintah Tuhan! Waktu saya katakan kepada orang ini bahwa waktunya terlalu singkat, ia berkata, “Lho, Bapak kan hamba Tuhan! Bapak deket sama Tuhan. 15 menit ya, Pak, atau mungkin bisa lebih singkat? 10 menit saja? 10 menit lagi saya akan telepon Bapak, dan saya sudah harus mendapat jawaban dari Tuhan.”

Apakah sebabnya orang itu melakukan hal ini? Karena ia tidak mau bergumul. Karena ia tidak mau mempergunakan rasio dan akal budi yang diberikan Tuhan kepadanya. Ia inginnya serbacepat, serbagampang, serba-ambil jalan pintas. Ia tidak mau melibatkan Tuhan dan hanya menginginkan jawaban Tuhan saja. Jika ia datang kepada Tuhan, maka ia akan berkata, “Tuhan, jawablah saya!” Tuhan diam. Ia berkata lagi, “Tuhan tolonglah saya”. Tidak ada jawaban dari Tuhan. Karena Tuhan terus berdiam diri, maka ia berpikir, “Kalau hamba Tuhan pasti lain. Kalau saya memohon selama 15 jam pun, Tuhan tidak bersuara. Namun, dengan Pak Wahyu, dalam waktu 15 menit pun Tuhan sudah berbicara”. Maka ia menelepon saya dan meminta jawaban Tuhan melalui saya. Tentu saya akan berpikir seribu kali untuk menjawabnya. Kalau saya melakukan apa yang dikehendaki orang itu, pertama artinya saya mendidik orang tersebut untuk tidak bergumul di hadapan Tuhan. Ia tidak akan mendayagunakan akal budinya, tidak akan berdoa, dan tidak akan bergumul sendiri. Ia akan langsung minta keputusan Tuhan melalui saya. Kedua, jika saya menuruti kehendaknya, maka makin lama orang itu makin dekat kepada saya bukannya kepada Tuhan. Ia akan berpikir, “Telepon Pak Wahyu saja. Pasti beres.”

Akan tetapi, toh orang menyukai cara seperti itu. Mengapa? Karena ada tuntutan untuk melibatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan, padahal orang sering malas bergumul, maka biarlah hamba-hamba Tuhan itu yang bergumul untuknya. Alkitab tidak memuat cerita seperti itu dan saya juga tidak akan melakukan hal seperti itu. Jika saya melakukannya, berarti saya memanjakan jemaat saya dan mendorong mereka untuk tidak mau bergumul sendiri di hadapan Tuhan. Berdoa tidaklah salah. Meminta jawaban Tuhan tidaklah salah, tetapi jangan itu menjadi alasan untuk menutupi yang sebenarnya, yaitu kemalasan berpikir dan kemalasan menganalisis.

Dalam bahasan ini kita menemukan dua jebakan. Pertama, adalah sikap skeptis terhadap campur tangan Tuhan dan ingin menggunakan pikiran sebaik-baiknya. Kedua, adalah sikap yang menutupi kemalasan dalam menggunakan akal budi dengan berdoa saja. Bukannya saya merendahkan kemampuan doa, tetapi sebaliknya doa sangat direndahkan apabila hanya dijadikan sebagai sarana untuk melarikan diri dari kemalasan berpikir. Doa amat sangat direndahkan kalau itu hanya sebuah label bertuliskan “Ini jawaban Tuhan”, padahal yang dilakukan adalah kata hati kita sendiri. Suara hati dianggap suara Tuhan. Apa yang terlintas di dalam pikiran dianggap pikiran Tuhan.

Ada sebuah kisah sejati dan tokoh di dalam kisah ini setuju jika saya memakai pengalamannya sebagai sebuah ilustrasi. Ada seorang pebisnis yang hendak mengambil keputusan untuk sebuah transaksi yang nilainya sangat besar. Pikirannya dan analisis bisnisnya mengatakan bahwa transaksi ini hasilnya tidak menguntungkan. Namun, ketika ia datang ke gereja dan mendengar apa yang diajarkan, yaitu “Jangan mengandalkan pikiran manusia. Andalkan pikiran Tuhan. Berdoalah!” Maka ia berdoa. Ia mendengar hatinya berkata: “lakukan!” Tanpa pikir panjang ia mengangap suara hatinya adalah suara Tuhan. Ia mempunyai dus pilihan: mau mengikuti pertimbangan akal budinya atau kata hatinya yang menurut dia waktu itu suara Tuhan. Ia memilih yang kedua karena merasa Tuhan berbicara kepadanya. Satu tahun berlalu dan transaksi tersebut menunjukkan hasil yang merugikan. Dalam hal ini siapakah yang bersalah sebenarnya? Dulu dengan yakin ia berkata, “Ini suara Tuhan. Pasti untung.” Ternyata Tuhan berkata lain. Karena itu, jika kita berdoa hendaknya kita bergumul sungguh-sungguh dan tidak boleh kita melupakan satu hal, yaitu tetap menggunakan akal sehat. Menggunakan akal sehat juga berarti menghargai pemberian Tuhan. Kita menghargai Tuhan lewat kemauan kita untuk melibatkan Tuhan sejak awal, sejak kita mulai berpikir, menganalisis dan mempergumulkannya dalam firman-Nya. Kita memohon supaya kita bisa mengambil keputusan sesuai dengan kehendak-Nya. Jangan ada seorang pun di antara kita yang jatuh pada salah satu di antara dua ekstrem: mutlak mengandalkan akal budi atau malas menggunakan akal budi dan membalutnya dengan kata-kata rohani: yang penting berdoa saja.

Melibatkan Tuhan di dalam pengambilan keputusan itu dimulai dengan kesadaran bahwa kita terbatas dan lemah sedangkan Tuhan tidak terbatas.

Dan, pergumulan untuk melibatkan Tuhan itu tidak terjadi dalam lima menit berdoa, tetapi mungkin bahkan merupakan perjalanan hidup yang terus-menerus. Dengan bergumul, maka kita sudah bertanggung jawab di hadapan Tuhan dan setiap keputusan yang kita ambil bisa kita aminkan karena kita sudah melibatkan Tuhan dari awal. Jangan tergoda untuk mencari jalan pintas dengan cepat. Jangan menempatkan hamba Tuhan pada posisi yang telah saya ceritakan tadi. Tuhan bukanlah tetangga sebelah rumah atau seorang pembantu yang bisa kita perintah seenaknya. Masing-masing bergumul dan itu memang menuntut waktu, perhatian, dan tenaga kita. Tidak terhitung betapa banyaknya saya menjumpai kasus yang seperti itu. Misalnya, “Mengapa menikah dengan orang itu dulu?” Jawaban yang tak asing adalah, “Habis gimana, Pak. katanya hamba Tuhan itu melihat dalam penglihatan bahwa ialah suami saya. Masak saya berani melawan Tuhan?” Memang betul kita tidak berani melawan Tuhan, tetapi dalam kasus tadi apakah yang bersangkutan sudah bergumul? Ataukah ia menyerahkan pergumulan itu kepada orang lain sepenuhnya? Apalagi dengan dibalut kata-kata rohani yang dipercayai begitu saja. Bukannya saya tidak percaya bahwa Tuhan bisa berbicara seperti itu karena saya juga pernah mengalaminya, tetapi itu bukan pengganti dari kemalasana untuk bergumul dan melibatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan. Tuhan bukanlah pemadam kebakaran yang harus segera datang menolong dalam keadaan darurat dan tidak boleh ditunda.

Setelah kita diajak untuk melibatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan; sebagai umat Tuhan kita dilatih untuk siap menerima konsekuensi dari keputusan kita.

Setelah mengambil keputusan, orang Israel akhirnya mengetahui bahwa mereka ditipu. Bagaimana jika itu terjadi kepada kita? Sesudah mengambil suatu keputusan, kita merasa sakit karena ternyata kita tertipu. Kita merasa menyesal dan dalam keadaan menyesal, biasanya orang menjadi agak mata gelap. Orang Israel juga merasa kesal dan marah, tetapi mereka sudah mengangkat sumpah di hadapan Tuhan dan berjanji bahwa bangsa Gibeon tidak akan dihabiskan, tetapi akan dijadikan pembantu di rumah Tuhan. Mereka tahu bahwa mereka telah salah dalam mengambil suatu keputusan, tetapi mereka bersikap konsisten dengan bersedia menerima konsekuensi dari keputusan salah itu dan tidak melakukan kesalahan yang lebih besar untuk menutupi kesalahan pertama ini.

Jika kita sering menonton acara-acara kriminal di TV, kita akan menemukan cerita-cerita menyedihkan yang klise. Misalnya, cerita tentang bayi merah yang dibunuh oleh ibunya sendiri karena si ibu bingung akibat bayinya ini tidak berbapak. Untuk menutupi kesalahan pada masa lalu, ibu ini melakukan sebuah kesalahan yang lain karena tidak berani menanggung konsekuensi kesalahan yang pertama. Logis jika kesalahan tidak dapat ditutup dengan kesalahan lain yang lebih kecil atau sama besar, tetapi harus ditutup dengan yang lebih besar. Jika proses ini dibiarkan berjalan terus maka akibatnya akan semakin hebat. Ketika ditagih karena berutang kecil, kita akan berutang yang lebih besar sampai akhirnya kita merasa perlu merampok dan mengambil milik orang lain. Umat Israel tidak begitu. Ketika mereka tahu mereka salah, mereka berhenti, mereka mengakui kesalahan itu, bersedia menerima konsekuensi dari kesalahan tersebut, dan tidak menyalahkan orang lain, mereka tidak menyalahkan Tuhan tetapi mereka sadar itu kesalahan mereka sendiri.

Hidup kita banyak digelisahkan oleh keputusan-keputusan yang sudah kita ambil. Beberapa reaksi kita seperti salah: yang pertama, sadar kalau keputusan kita keliru, maka kita menyesal. Nyeselnya bagaimana? Tipe menyesal pertama: berandai-andai. “Seandainya dulu saya tidak menikah dengannya,” “Seandainya dulu saya tidak pindah kerja”, dan lain-lain. Kita hidup pada masa kini, tetapi pikiran kita hidup pada masa lalu, dan terus berkata: seandainya, seandainya, seandainya…. Hal ini tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya merupakan pelarian dari ketidaksanggupan kita dalam menerima konsekuensi.

Tipe menyesal kedua: sadar bahwa kita telah mengambil keputusan salah, tetapi menyalahkan orang lain. “Ini kan gara-gara si itu dulu”, “Ini kan gara-gara si ini dulu”, atau “Itu kan gara-gara Tuhan. Saya mengambil keputusan keliru, kok Tuhan tidak ingatkan?” Saya ambil keputusan salah kok Tuhan tidak cegah?” Kadang-kadang kita menempatkan Tuhan pada posisi yang sulit seperti ini. Kita tidak mau bergumul susah-susah, pokoknya kita mau ambil jalan pintas. “Kalau keputusan saya salah, Tuhan yang akan mencegahnya.” “Kalau keputusan saya ternyata salah, Tuhan akan membuat kantornya tutup”. “Kalau ternyata keputusan saya salah, Tuhan akan menurunkan hujan”. Kemalasan kita bergumul menyebabkan kita menarik Tuhan dari takhta dan membuat-Nya duduk di kaki kita dan menjadi pengawas kita. Juga kita menyebabkan Tuhan menjadi terdakwa tunggal dari kesalahan kita: “Tuhan tidak mencegah lho, Pak! Mengapa waktu saya akan melakukan keputusan yang salah, yaitu pergi dengan istri orang, kok Tuhan tidak mengirimkan petir dari surga? Padahal, Tuhan tahu kalau saya salah, kok hotelnya tidak ambruk?” Kita hanya ingin melemparkan kesalahan tersebut terus kepada Tuhan, kepada orang lain, dan kepada situasi karena tidak siap menerima konsekuensi dari perbuatan kita.

Tipe menyesal ketiga: kita menyalahkan diri. “Saya memang yang salah.” Kalau orang lain bertanya mengapa bisa jadi begini, jawabnya, “Saya yang salah” Kita hidup di dalam penyesalan yang dalam, akhirnya kita putus asa dan memilih minum obat nyamuk atau melompat dari gedung yang tinggi dan meninggalkan penyesalan. Siapa di antara kita yang tidak pernah membuat keputsuan yang keliru? Siapa di antara kita yang tidak pernah membuat keputusan yang ternyata di kemudian hari terbukti salah? Kita ini semua adalah orang-orang yang pernah mengambil keputusan dan ternyata itu adalah keputusan salah.

Jadi, masalahnya memang bukan soal salah atau benar pada masa lalu, tetapi bagaimana sikap kita sekarang dalam menghadapinya? Apakah kita akan menutupi kesalahan pada masa lalu dengan kesalahan yang lebih besar lagi? Kalau orang menipu kita, kita akan balas dengan menipu anaknya, biar impas. Ataukah kita tipe orang yang selalu menyalahkan orang lain, menyalahkan diri kita sendiri, menyalahkan sekeliling kita atau bahkan menyalahkan Tuhan? Orang Israel adalah orang yang sadar bahwa diri mereka salah, lalu berhenti. Mereka tidak membuat kesalahan yang lebih besar dengan menutupi kesalahan mereka, tetapi bersedia menerima konsekuensi dari kesalahan mereka. Karena itu, mereka tidak mengangkat pedang dan membunuh orang Gibeon. Sebaliknya, mereka melibatkan Tuhan. Demikian pula seharusnya dengan kita. Kita mengakui kesalahan kita dan menjadikannya pelajaran yang paling berharga untuk masa depan. Ketika salah mengambil keputusan, kita boleh kecewa terhadap diri kita dan orang lain boleh menertawakan kita dan bersukacita atas kemalangan kita, tetapi meskipun kita telah melakukan kesalahan, tangan Tuhan akan terus ada di dalam hidup kita. Seperti juga pengalaman orang Israel yang merasakan tangan Tuhan itu tetap bekerja di dalam hidup mereka walaupun mereka telah berdosa di hadapan Tuhan. Lewat keputusan yang salah ini, ratusan tahun kemudian, orang Gibeon yang dibiarkan hidup berasimilasi dengan orang Israel. Dengan demikian, akhirnya mereka terhisap masuk menjadi bagian dari Israel.

Lihat betapa baiknya dan betapa murah hatinya Tuhan. Kita, yang sudah salah mengambil keputusan, hendaknya menyadari bahwa penyesalan tidak akan dapat mengubah masa lalu, ataupun mengubah keputusan yang sudah kita ambil. Air mata kita, bahkan bunuh diri pun, tidak akan pernah bisa membalikkan keadaan. Namun, ada Tuhan yang ternyata masih memegang tangan kita dan memegang jalan sejarah kita, bahkan saat kita keliru mengambil keputusan.

Jadi, masih ada harapan bagi orang-orang yang merasa sudah salah mengambil keputusan. Juga ada janji pemulihan bagi mereka yang berani berkata bahwa mereka sudah keliru besar.

Ketika saya berjumpa dengan mereka yang pernah gagal bunuh diri, saya melihat berbagai tipe reaksi mereka. Ada yang merasa tambah gagal karena melihat kenyataan bahwa hidup gagal, mau mati pun gagal. Saya menemukan seorang pemuda dengan kasus seperti ini yang hanya bisa menangis dan menangis terus. Sementara seorang pemuda lain dengan kasus yang sama masih bisa mempunyai harapan. Pemuda ini mengatakan, “Saya sudah tidak bisa apa-apa lagi, Pak. Saya sudah mengambil keputusan yang salah sehingga hidup saya hancur. Saya malu, Pak. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi jika muncul di gereja dan orang menyebut nama saya dengan tambahan ‘si X yang minum … (disebut nama merek obat nyamuk)’” Namun, sekarang saya menyaksikan Tuhan bekerja di dalam hidupnya. Dari kesalahan dan keputusan yang paling buruk yang pernah ia lakukan, Tuhan terus bekerja di dalam hidupnya sehingga kini pemuda ini menjadi pendamping bagi pemuda-pemuda lain yang sudah hancur hidupnya dan bagi mereka yang berkata bahwa hidup mereka sudah tidak ada gunanya lagi. Tuhan ternyata bisa membuat keputusan yang paling baik, dari keputusan manusia yang paling buruk.

Ada kasus yang lain lagi. Seorang pemuda masuk rumah sakit karena berusaha menggunting urat nadinya sendiri. Di rumah sakit pun ia masih berusaha menusukkan garpu ke nadinya. Ia tidak mau menerima tamu, tetapi ketika akhirnya saya diizinkan masuk, saya mengetahui bahwa ia merasa bersalah kepada dirinya sendiri karena tidak berhati-hati menaiki sepeda motor. Akibatnya, kecelakaan berakibat fatal pada tubuhnya dan tidak mungkin disembuhkan. Ketika barang-barang yang dapat ia pakai untuk melukai dirinya dikeluarkan semua dari kamarnya, ia lalu membentur-benturkan kepalanya. Saya berkata,”Kamu memang sudah salah, tetapi jangan melakukan kesalahan yang lebih besar lagi. Berhenti di sana dan akui kesalahan itu, lalu lakukan hal yang lebih baik lagi.” Akan tetapi, ia menolak dan sampai sekarang ia masih terus mencoba menghancurkan dirinya.

Janganlah kita seperti contoh yang terakhir ini. Kita yang pernah salah ambil keputusan, mari kita akui di hadapan Tuhan dan berhenti melakukan kesalahan yang lebih besar lagi. Biarlah itu mendidik kita untuk lebih dewasa mengambil keputusan. Biarkan tangan Tuhan itu mengerjakan yang paling baik dari keputusan yang paling buruk sekalipun. Janji Firman Tuhan mengatakan, “Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28) Bukankah itu berarti bahwa bukan hanya dalam keberhasilan saja Tuhan mau bekerja di dalam hidup kita, tetapi juga di dalam kesalahan dan kegagalan kita pun ia mau mengupayakan yang paling baik. Jangan hanya menyesali diri, tetapi akui kesalahan dan bertobat. Lihatlah tangan-Nya sedang bekerja atas kehidupan kita.

Exit mobile version