Dualisme seperti ini dengan bagus digambarkan dan dipertanyakan oleh sebuah lagu yang sering saya dengar sewaktu saya masih kecil di Semarang. Di Semarang saya tinggal di daerah di mana saudara-saudara kita yang beragama Islam itu sering berlatih kasidah, yaitu musik irama padang pasir. Saya sering mendengarkan mereka latihan lagu yang berjudul “Perdamaian”. Sebagian syairnya berbunyi, “perdamaian, perdamaian… banyak yang cinta damai…”, lalu dibalas oleh yang lain, “tapi peperangan makin ramai…” Dan yang menarik bagi saya adalah jawaban serentak dari anggota kasidah itu, langsung “bingung, bingung, memikirkan….” Saya rasa lagu itu sangat mewakili dualisme yang ada di dalam hidup kita. Di satu sisi kita menginginkan kedamaian, tetapi di sisi lain tangan kita penuh dengan darah dan menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain.
Adanya dualisme di dalam diri kita ini harus benar-benar disadari sebelum kita buru-buru menyalahkan orang lain untuk pergumulan dan tidak adanya kedamaian di dalam diri kita.
Janganlah sampai kita dengan tergesa menunjuk orang lain saat kita mengalami ketidaknyamanan. Kita harus menyadari bahwa sewaktu menunjuk orang lain, tepat saat itu juga sebenarnya kita sedang menimbulkan ketidaknyamanan di hati orang tersebut. Pada saat yang demikian inilah dualisme itu terjadi: tidak seorang pun bersih dari kecenderungan untuk membuat orang merasa tidak nyaman. Saya juga menyadari bahwa di dunia ini ada hal-hal yang terjadi bukan karena kesalahan orang lain kepada kita dan bukan karena kesalahan kita kepada orang lain. Ada situasi yang tidak menyenangkan itu terjadi begitu saja di luar kendali dan di luar kuasa kita, seperti bencana alam.