Sebanyak 92 persen penuh sejarah manusia dipenuhi dengan kekerasan. Siapa yang bisa mengendalikan itu? Tidak ada! Tidak mudah bagi kita untuk menjalani hidup di dalam dunia yang bahkan 92 persennya berada di dalam masa-masa yang tidak nyaman dan tidak tenang. Rasul Paulus berkata kepada kita melalui Filipi 4, terutama dalam ayat 4:7, “Aku katakan kepadamu bersukacitalah.” Pada saat ia mengatakan demikian, sebenarnya ia sedang berada di dalam suasana yang secara manusiawi tidak mungkin bersukacita. Paulus sedang mempunyai masalah yang besar karena sedang berada di dalam penjara. Ditambah lagi dengan keadaan jemaatnya yang dilanda perselisihan. Ia juga sedang mempunyai masalah besar karena banyak orang memfitnah dirinya dan menyangsikan pelayanannya. Akan tetapi, ia terus berkata kepada jemaat, “bersukacitalah, bersukacitalah!” dan ia meneruskan dengan berkata, “hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang”, artinya ia ingin mengajak kita semua agar jangan membalas dendam. Janganlah membalas ketika kita berpikir orang lain menyengsarakan hidup kita dan membuat hidup kita tidak ada damai. Yang terpenting saat dunia berada dalam situasi yang tidak aman dan saat segala sesuatu berjalan di luar dugaan kita, kita harus mengingat apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam ayat 7, “Biar damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu di dalam Kristus Yesus.” Ini merupakan sesuatu hal yang tidak biasa karena biasanya kita bisa merasa damai sejahtera jika segala sesuatunya berjalan dengan baik dan lingkungan kita berada di dalam situasi yang menyenangkan. Kita bisa berkata mengalami damai sejahtera ketika semua rencana kita berhasil. Akan tetapi, yang dikatakan oleh Rasul Paulus justru sebaliknya. Di dalam situasi ketidaknyamanan dan tidak ada damai sejahtera, biarlah damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal memelihara hati dan pikiran kita.
Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin kita diharapkan Tuhan untuk merasa damai sejahtera pada saat kita gelisah dan penuh dengan masalah?
Bagaimana mungkin kita merasa damai sejahtera ketika banyak hal terjadi di hidup ini dan itu terjadi di luar kehendak kita? Saya rasa Paulus juga tidak menyukai apa yang terjadi pada dirinya. Dulu sebelum Paulus bertobat ia mengejar-ngejar murid Tuhan, tetapi setelah ia bertobat justru sebaliknya, ia yang dikejar-kejar. Dulu Paulus menganiaya, sekarang ia yang dianiaya. Dulu Paulus memfitnah orang Kristen, sekarang ia yang difitnah oleh orang lain, bahkan oleh saudara-saudara seiman sendiri. Di dalam situasi seperti itu, Paulus layak untuk mengeluh dan layak untuk marah. Paulus layak untuk menjadi tidak puas dan menyalahkan jemaatnya, menyalahkan dunia, dan bahkan menyalahkan Tuhan. Akan tetapi, Paulus tidak menyalahkan siapa pun. Mengapa? Karena di ayat 7 Paulus mengatakan bahwa damai sejahtera Allah yang melampaui akal pikiran menguasainya. Dengan kata lain, ia ditopang oleh kekuatan yang berasal dari Allah sendiri. Paulus ditopang oleh damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal pikiran. Paulus tidak bergantung pada apa yang terjadi di dunia ini, apa yang terjadi di sekelilingnya, tetapi betul-betul bergantung pada anugerah Tuhan yang menopang hidup Paulus.