Kadang kala dalam pergumulan, kita menantikan jawaban doa sambil mengharapkan perubahan yang terjadi di luar diri kita. Sama halnya dengan cerita tentang seorang anak berusia lima tahun, yang menurut pengamatan ibunya, mempunyai perilaku doa yang aneh. Kalau anak itu berdoa sebelum makan di rumah mereka sendiri, si Anak akan berdoa panjang lebar, “Tuhan, terima kasih untuk mama yang memasak untuk kami. Berkati masakannya supaya kami bisa memakannya, menyantapnya dengan sukacita; supaya rasanya enak….” Doanya panjang. Sebaliknya, ketika si Anak diajak makan keluar, ke restoran, dan diminta berdoa, si Anak menaikkan doa dalam tiga kata saja: “Tuhan, terima kasih. Amin.” Hal itu terjadi berulang-ulang. Si Ibu kemudian bertanya, “Kenapa kamu berdoa seperti itu?” Si Anak menjawab, “Salahkah saya berdoa seperti itu?” “Tidak,” kata ibunya lagi, “Hanya saja Mama ingin tahu kenapa kamu kalau berdoa di rumah doanya panjang, sedangkan kalau di restoran doanya pendek sekali?” Si anak kemudian menjawab lagi, “Kalau saya di restoran doanya pendek karena makanannya sudah pasti enak. Kalau di rumah, ya Mam, kita betul-betul perlu pertolongan Tuhan. Kita betul-betul perlu mukjizat Tuhan supaya makanan Mama rasanya bisa berubah menjadi lezat dan enak.”
Doa : Menutup Mata, Menembus Batas
June 18, 2017
