Hamba ketiga ini mencerminkan sebuah teologi yang buruk yang mencitrakan seorang Allah yang kejam, tanpa kebaikan sama sekali, yang siap menghantam hamba-hamba-Nya yang berjuang … dan gagal. Teologi buruk macam ini mengakibatkan ketakutan untuk mengusahakan talenta dan merayakan kehidupan yang penuh perjuangan. Alhasil, kemalasan muncul. Hidup tak bermakna apa-apa.
Ketiga, yang lebih parah, Sloth menjadi dosa ketika ia—sama seperti dosa lainnya—menarik manusia untuk menelikungkan arah hidup pada diri sendiri, curvatus in se. Namun penelikungan ini—berbeda dengan dosa-dosa lain—menampilkan citra yang memilukan, menyedihkan dan negatif. Bapa gurun pasir bernama John Cassian menggambarkan acedia sebagai “sejenis kesedihan,” dan asosiasi kemalasan (acedia) dengan kesedihan (tristitia) ini digemakan kembali oleh seorang bapa gereja bernama Gregorius Agung. Kata Jerman Weltsmerz, yang secara hurufiah berarti terlukai oleh dunia, mungkin tepat menggambarkan jenis kesedihan ini. Seseorang yang terjebak ke dalam Sloth merasa sedih dan pilu akibat dunia yang dihadapinya, namun kemudian reaksi yang muncul bukanlah perjuangan di dalam dunia dan mensyukuri Allah di tengah dunia yang memilukan, namun justru melawan dunia dengan cara menjauhinya dan memasuki relung hati hanya untuk sekedar diam dan mencari rasa aman semu. Itu sebabnya penyakit spiritual ini banyak ditemuikan di antara anak-anak muda, yang mungkin berpendidikan tinggi, berlatar belakang dari keluarga kaya, namun tak memiliki semangat hidup dan tekad untuk berjuang. Sloth lantas tampil dalam perilaku curang dalam ujian—yang tentu akan dilanjutkan dengan perilaku curang dalam pekerjaan. Tak lagi ada pengharapan akan masa depan. Dunia sudah begitu busuk … dan saya tak peduli.