Dengarkan Teriakanku
Oleh: Pdt. Nathanael Channing
“Hikmat berseru nyaring di jalan-jalan, di lapangan-lapangan ia memperdengarkan suaranya, di atas tembok-tembok ia berseru-seru, di depan pintu-pintu gerbang kota ia mengucapkan kata-katanya. Berapa lama lagi, hai orang yang tak berpengalaman, kamu masih cinta kepada keadaanmu itu, pencemooh masih gemar kepada cemooh, dan orang bebal benci kepada pengetahuan? Berpalinglah kamu kepada teguranku! Sesungguhnya, aku hendak mencurahkan isi hatiku kepadamu dan memberitahukan perkataanku kepadamu” – Amsal 1:20-23
Ketika kita membaca tulisan Amsal itu, apa yang muncul dalam benak, pikiran, dan hati kita? Pasti kita akan merasa nelongso, istilah dalam bahasa Jawa yang berarti perasaan sedih sekali, hati hancur, tidak bisa berpikir lagi, bahkan kehendak menjadi lumpuh. Apa yang mau dilakukan lagi ketika kita sebagai orangtua, guru, dosen, pengajar, pendidik, penatua, pendeta, atau para pemimpin yang menyuarakan kebenaran, kebaikan, keadilan, kejujuran, kekudusan, dan kasih yang terus dikatakan, disuarakan, diteriakkan, tetapi semua orang tidak mau mendengarkannya? Semua orang sibuk dengan dirinya sendiri, menganggap dirinya baik dan benar, dan tidak peduli orang lain. Segala sesuatu dikerjakan menurut cara masing-masing dan sudah tidak ada lagi standar kebenaran bersama. Bayangkan apa yang akan terjadi kalau setiap orang menanggap dirinya yang paling benar dan baik. Apa jadinya kalau semua orang merasa cara yang dipakai adalah paling benar?